Pengasuhan Rumah Tangga

Anak-anak yang Membuat Kita Malu

Di akhir kajian rutin setiap ba’da ‘Isya’, saya menyampaikan tugas kepada anak-anak.

“Nak, sekarang kan malam Jum’at. Setiap malam Jum’at sampai hari Jum’at setelah Ashar, kita disunnahkan untuk perbanyak membaca shalawat kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Nah, masing-masing orang membaca shalawat sebanyak 100 kali. Boleh malam ini, besok pagi, siang, sore, pas berangkat sekolah, di rumah, atau sambil main.

Jika kita membaca shalawat satu kali, maka Allah Ta’ala bershalawat kepada kita sebanyak 10 kali. Jika Allah membaca shalawat untuk kita, insya Allah hidup kita bahagia, berkah, orang tua kita rezekinya banyak, teman-temannya baik, dan masuk surga.”

Serentak, mereka melafal aamiin.

“Jadi, kalau kita baca shalawat 100 kali, Allah bershalawat kepada kita 1000 kali ya, Om?”

“Insya Allah,”

Mereka saling berpandangan, lalu bertutur satu dengan yang lainnya. “Seribu kali? Banyak ya.”

Seketika itu pula, ada yang langsung melantunkan, “Allahumma shalli ‘alaa sayyidina Muhammad,” sembari pulang ke rumahnya masing-masing.

***

Keesokan harinya, sejak bertemu dengan mereka pada momen Subuh berjamaah, sudah ada yang laporan, “Om, saya baru 50 kali baca shalawat.”

Siangnya, saat mereka baru pulang sekolah dan berjamaah Zhuhur, ada yang melapor juga. “Om, saya sudah 100 kali baca shalawat.”

Saat mereka bertemu dengan sesamanya dalam momen bermain sebagai aktivitas kegemaran anak-anak, mereka berlomba bertanya kepada yang lainnya.

“Eh, kamu sudah baca shalawat berapa kali? Aku sudah 100 kali.”

“Sudah dong. Seratus kali juga.”

“Kamu bacanya kapan?”

“Semalam sepulang ngaji.”

“Kalau aku bacanya pas pagi hari.”

“Aku tadi pas mau Ashar.”

“Aku belum nih. Ntar aja setelah Maghrib.”

“Baca cepat. Ntar waktunya habis loh.”

***

Di hari kedua, sunnah itu terus menjadi kebiasaan anak-anak. Saat bertemu di hari Sabtu dan Ahad siang, mereka langsung melapor tanpa diminta.

“Om, hari ini aku baca shalawat 200 kali.”

“Bener kamu 200? Aku baru 50 kali. Ntar aku mau baca lagi.”

“Om, kalau aku sudah 350 kali. Boleh ya, Om?”

“Boleh. Makin banyak makin baik.”

“Kalau gitu, mau baca lagi ah biar sampai 400 kali.”

***

Anak-anak itu benar-benar membuat kita, orang yang mengaku dewasa, merasa malu. Merasa malu lantaran kualitas ketaatan kita kepada guru yang minimalis bahkan kerap membangkang atas nama kritis.

Mereka juga membuat kita malu lantaran semangat baja dan pantang menyerah.

Kisah ini sekaligus menjadi hujjah nyata bagi orang tua yang merasa sering dibantah anaknya. Bisajadi, para orang tua itu yang tak kuasa mengambil hati si anak hingga seluruh atau sebagian besar perintahnya dimentahkan. [Keluargacinta/Pirman]