Pernikahan

Bencana Itu Bernama Pernikahan

Dua laki-laki dan perempuan ini, akhirnya menikah. Dalam masa satu tahun, semuanya serasa madu. Manis. Enak. Nikmat. Semuanya sewangi bunga. Tiada bau menyengat, apek, apalagi busuk. Indah semuanya.

Setelah itu, masalah kecil menjadi besar; masalah sepele menjadi serius; masalah gampang dipersulit. Tiada satu dialog pun, kecuali berakhir dengan pertengkaran. Ditambah lagi dengan konflik munculnya laki-laki yang hendak ditunangkan dengan si perempuan. Makin lengkap.

Orang-orang melihat sepasang suami istri ini sebagai idaman. Si perempuan cantik jelita. Laki-lakinya tampan, gagah, dan mapan. Bak toples yang bertemu tutupnya. Sangat serasi. Sangat cocok.

Padahal…

***

“Kamu selalu begini.”

“Kenapa?”

“Pulang kerja, sepatu ditaruh sembarangan. Baju langsung dilempar.”

“Memangnya kenapa?”

“Ranjang sudah rapi, tapi dibuat berantakan. Seprei dan bantal tak beraturan. Kasur basah karena handuk bekas mandi kau letakkan di atasnya.”

“Kenapa kau mengaturku? Aku lebih suka hidup begini. Aku lebih suka berantakan.”

***

“Setiap pulang kerja, kau selalu menyalakan televisi. Pertama kali.”

“Aku bosan di kantor seharian. Banyak yang harus diselesaikan. Televisi membatku rileks.”

“Kau juga menanyaiku banyak hal tentang rumah. Padahal, aku ingin mendengarkan kisahmu di kantor. Aku ingin mengetahui kehidupanmu di sana.”

“Aku tidak suka ditanya masalah kantor saat di rumah. Aku lebih suka membicarakan hal lain. Tentang rumah. Sembari menikmati kebersamaan cinta denganmu.”

“Kau ingin menikmati aku sembari memutar acara televisi?!”

***

“Aku bahagia hari ini.”

“Bukannya engkau selalu bahagia sejak menikah denganku?”

“Ini lain.”

“Kenapa? Ceritakanlah.”

“Kita mendapatkan dua tiket berlibur ke luar negeri.”

“Hah? Luar biasa. Kau menang undian?”

“Bukan. Keluargaku datang. Tiket ini hadiah dari mereka karena kita belum bulan madu.”

“Aku melihat engkau tidak bahagia setelah menikah denganku.”

“Kenapa?”

“Aku akan mengajakmu bulan madu. Ke luar negeri. Tapi dengan uang kita sendiri.”

“Memangnya kenapa? Aku tidak meminta kepada mereka. Ini keluargaku. Ini hadiah.”

“Aku tidak suka. Aku tidak terima! Kau tidak menghargai kerja kerasku sebagai suami.”

***

Seperti itulah kehidupan mereka setelah menikah. Janji-jani manis saat pacaran tinggal kenangan. Semua janji dikhianati. Bahkan jumlah pengkhianatan lebih banyak dari yang dijanjikan. Si suami mudah marah. Si istri lekas menuntut janji.

Rumah tangga panas penuh bara. Tak ubahnya neraka.

Wallahu a’lam. [Pirman/Keluargacinta]

*Terinspirasi dari sebuah film. Mudah-mudahan pembaca menyadari dampak buruk pacaran sebelum menikah.