Bujangan
Subuh. Bangun sendiri. Ke masjid. Pas dzikir, hujan deras. Dia bingung; nerabas atau nunggu reda. Jika nerabas, basah. Andai nunggu, terlambat masuk kerja.
Akhirnya nerabas. Kehujanan. Basah kuyup. Menggigil. Kedinginan Sendirian. Sampai rumah, masak air sendiri. Mandi sendiri. Ngopi dibikin dan diminum sendiri.
Satu Istri
Subuh. Bangun bareng. Suami ke masjid. Istri di rumah. Pas dzikir lepas shalat, hujan deras banget. Si suami lanjut dzikir. Santai.
Tiba-tiba, ada yang nyolek. Laki-laki tua. Sesama jamaah masjid. “Ada yang jemput,” katanya.
Si suami beranjak menghampiri. Rupanya, bidadari. Memakai mukena putih. Wajahnya cerah. Senyumnya saja menghangatkan. Di tangan kirinya, ada payung yang disertakan.
Pulang. Agak nempel dalam berjalan. Sebelah tangan si suami memegang payung, tangan lainnya bergandengan dengan tangan bidadarinya. Satu tangan bidadari memegang kuat bagian baju si suami.
Jalan bareng. Ditingkahi tawa renyah dan sesekali canda. Hujan angin pagi itu pun tak terasa menusuk tulang. Suhunya kalah oleh hangatnya senyum dan sentuhan berpahala dua insan manusia dimabuk cinta berkah itu.
Sampai di rumah, terhidang manis di meja; kopi kental panas, pisang panggang bertabur keju dan susu. Siap disantap setelah ritual tilawah serentak disukseskan.
Bujangan 2
Di sudut sana, si bujangan masih saja bersikukuh. Enggan menikah karena alasan ba, bi, bu. Padahal, semua alasan dibuat-buat. Egonya meninggi. Tidak mau menerima nasihat dari orang lain.
Bujangan Tersesat
Segelintir lainnya lebih parah. Menolak menikah karena alasan usia, harta, dan kerja, tapi memilih pacaran yang sekali jalan saja; kudu siapin make up layaknya artis, jalan berdua yang pakai bahan bakar kendaraan atau ongkos angkot, nonton bertabur dosa yang kudu beli tiket, atau makan tanpa berkah dengan mahal sebab gengsi dan demi update status media sosial.
Bujangan Bertabur Hidayah
Dan di antara bujangan yang paling beruntung, ialah mereka yang sibuk dengan amalnya. Ia sadar, hidup hanya sejenak. Ia bersungguh-sungguh untuk upayakan nikah segera. Ia siapkan bekal ruhani, ilmu, psikis, fisik, keuangan, dan juga sosial.
Ia juga habiskan masanya untuk berjuang. Perbaiki diri. Berdoa kepada Allah Ta’ala agar turunkan bidadari untuknya. Ia bertanya kepada ustadz, meminta pendapat kepada keluarga, dan mengupayakan banyak jalan yang direstui syariat.
Dalam benak golongan terakhir ini, tersimpan sebuah i’tikad mulia, “Jika pun tak diberi rezeki menikah, aku ingin seperti Imam an-Nawawi yang wafat di usia 33 tahun, tapi karyanya abadi, tercatat emas oleh sejarah. Dan yakinku penuh, di surga sana, ada bidadari bening kulitnya yang disiapkan. Sebab kulitku tak pernah sekalipun menyentuh yang haram.”
Duhai sahabatku, di antara golongan-golongan di atas, di manakah posisimu? Di mana pun, moga iman dan taqwa senantiasa membara. Aamiin.
Wallahu a’lam. [Pirman/Keluargacinta]