Pagi beranjak menuju Dhuha. Di luar, matahari sudah terasa hangat, ibu-ibu kompleks mulai beraktivitas menunggu abang sayur yang biasanya mondar-mandir mencari pembeli. Di sebuah rumah, seorang suami muda tengah membantu istrinya menyapu lantai. Sementara sang istri melakukan pekerjaan rumahan lainnya. Kompak.
Agar tak sepi, sebab keduanya adalah pengantin baru yang belum dikurniai anak, sang suami pun berinisiatif memulai perbincangan. “Neng,” sapanya meminta izin, “boleh gak Abang sampaikan penilaian terhadap Neng?”
“Bolehlah, Bang…” jawab si istri manja.
Lelaki yang sehari-hari memiliki hobi bermain sepak bola ini pun memulai menyampaikan pujiannya. Tulus. Kemudian, sebagai pelengkap, ia pun mengatakan beberapa kekurangan yang harus diperbaiki oleh istri pertamanya itu.
Namun, sang istri tiba-tiba menukasi, “Oh… ada ‘tapi’nya ya?”
Lantaran selaan itu, sang suami yang awalnya lembut langsung menunjukkan rona memerah pada mukanya. Barangkali, naluri kelelakiannya muncul. Atas tukasan ini, sang suami merasa tidak dihormati. Menurutnya, sang istri tidak mau menerima kritik. Padahal, hal itu untuk kebaikan rumah tangga mereka ke depannya.
Dalam hitungan detik, rumah asri dan damai itu pun menjadi panas. Selayak neraka dunia. Sang suami masih melanjutkan aktivitas bersih-bersih, tetapi sambil menggerutu tidak tentu arah. Sedangkan sang istri salah tingkah. Sibuk mencari solusi untuk meredakan kesalahpahaman pagi itu.
“Maaf, Bang,” kata sang istri lembut. Memelas. “Neng hanya bercanda kok…” jelasnya, meski ditanggapi ketus oleh suami tampannya itu.
Kelar menyapu lantai, sang suami pun menuju kamar mandi. Membanting pintu. Agak lama. Lelaki ini memang memiliki kebiasaan ‘melampiaskan’ kejengkelannya di kamar mandi. Kadang menguras bak mandi, menggosok bersih lantainya, mandi, atau pun aktivitas lain sehingga kamar mandi menjadi bersih.
Lepas ‘lampiaskan’ marahnya, lelaki ini pun keluar. Melirik ke kamar, ia melihat sosok anggun mengenakan pakaian shalat. Rupanya, sang istri menjaga wudhunya sedari tadi. Saat sang suami masuk ke kamar mandi, istrinya itu bergegas mendirikan Dhuha penuh keberkahan di pagi itu.
Menyaksikan pemandangan ruhani itu, sang suami luluh hatinya. Padahal, ia berniat melanjutkan kejengkelannya kepada istri yang sebenarnya amat dicintainya. Lalu entah bagaimana kronologisnya, lepas salam Dhuhanya, sang istri segera mendatangi suaminya seraya memeluk lembut, mesra, dan erat.
Sang suami yang tengah menenteng sampah dapur untuk dibuang itu pun diam. Menyerah. Tak berkutik. Akunya, “Ada kehangatan yang kurasa di badan, ada sejuk yang merasuk ke dalam kalbu. Seketika. Begitu saja. Nyaman.”
“Maafin Neng, ya Bang?” ujar istrinya lembut. “Abang adalah suami terbaik yang amat Neng cintai.”
Itulah pelukan pengusir setan; diniati dengan baik, diawali dengan munajat, dan diakhiri dengan kemesraan perlambang penerimaan atas pasangan kita yang memang tak sempurna.
Duh, romantisnya… [Pirman/Keluargacinta]
1 Comment
Comments are closed.