Masalah rumah tangga itu kompleks, tidak sesederhana imajinasi para bujangan. Saking lengkapnya, hal sepele bisa menjadi pelik, yang sederhana menjadi rumit, bahkan yang tampak default pun, bisa jadi masalah besar. Karena itu pula, dalam pernikahan disediakan pahala yang agung, sebab ujiannya pun berat.
Seorang istri bertutur. Haknya sudah tidak dipenuhi sejak lama. Bukan soal nafkah makanan, kendaraan, pakaian atau lainnya. Bahkan, dalam soal itu, sang suami memenuhinya dengan amat baik. Terkait sandang-pangan-papan, sang suami tak diragukan lagi.
Lalu, yang tidak dia dapatkan adalah hak ‘ranjang’nya. Jika pada sebagian besar laki-laki, soal ranjang hanya soal ‘tegang’ dan ‘keluar’, tidak demikian bagi perempuan mana pun. Para keturunan Hawa itu, melihat urusan ‘ranjang’ dari hal yang lebih kompleks dan penuh perasaan, bukan sekadar logika apalagi lintasan semata.
Maka, istri mana pun, saat suaminya tak lagi mau menyentuh dan ‘menikmatinya’, pikirannya pun akan berkelana, “Jangan-jangan, aku tak menarik lagi.” “Apakah aku tidak secantik dan seseksi dulu saat awal menikah?” Dan pikiran-pikiran lainnya. Jika keadaan ini berlangsung lama, pikirannya pun semakin lengkap, “Bukankah kebutuhan ‘ranjang’ adalah milik laki-laki juga? Jika dia tidak mau mendapatkannya dariku, mungkinkah dia mendapatkannya dari wanita lain? Jika ‘Ya’, apakah selingkuh atau menikah siri secara halal?”
Pasalnya, wanita melihat aktivitas ‘ranjang’ sebagai sebentuk penerimaan tulus dari seorang lelaki yang amat disayanginya. Ianya melihat hal itu bukan sekadar orgasme. Karenanya pula, tingkat galaunya akan semakin menjadi-jadi, meskipun bisa dialihkan ke aktivitas lain yang lebih positif sehingga dirinya melupakan kebutuhan biologis itu. Tapi, kebutuhan ‘ranjang’ itu fitrah.
Nah, inilah yang dihadapi oleh si wanita. Suaminya berbubah. Bukan sekadar tak menyentuh, ketika ‘dicolek’ pun, sang suami menolak. Seperti gak doyan lagi. Apalagi, lanjut si wanita, “Ini terjadi berkali-kali.” Padahal, sebelumnya, si suami masuk kategori rajin.
Bagi sebagian laki-laki, mungkin saja kasus ini terkesan mengada-ada. Padahal, faktanya amat melimpah. Bahkan, ini menjadi fenomena akut dan menjadi satu di antara sekian banyaknya sebab ajuan cerai seorang istri kepada suaminya.
Singkatnya, jika kita seorang suami, tolong perhatikan hal ini dengan baik. Anggap masalah ini dari sudut perempuan, bukan dari logika sempit Anda. Pasalnya, sebagai laki-laki, ada banyak alternatif untuk sekadar mengeluarkan air mani dari dalam tubuh. Tapi, lihatlah masalah ini dari kaca mata seorang wanita yang telah memberikan hidupnya untuk Anda.
Bukankah jika Anda tak memenuhinya, berarti Anda telah menzhaliminya? Bukankah Anda tidak menunaikan haknya? Bukankah jika zhalim dan tak penuhi hak, Anda berdosa karenanya? Ini, lain cerita jika sang suami memiliki udzur yang syar’i sehingga tak bisa penuhi kebutuhan istrinya itu.
Jika kita seorang wanita, sebaiknya sabar. Pertama, jangan berburuk sangka. Kedua, muhasabahlah. Perbaiki penampilan. Barang kali ada yang salah. Termasuk kebersihan dan hal-hal terkait diri lainnya. Ketiga, diskusikanlah. Baik dengan sang suami, atau mintalah pendapat ke pihak bijak dari kalangan keluarga. Terakhir, mintalah pertolongan kepada Allah Ta’ala dengan berdoa. Dia Maha Mendengar. Ini adalah ujian. Dan, amat mudah bagi-Nya untuk menggerakkan hati suami agar kembali berhasrat dengan Anda.
Semoga Allah Ta’ala memberkahi keluarga kita dan menyelamatkannya dari ketergelinciran. Aamiin. [Pirman/Keluargacinta]