Pasangan suami-istri ini mengalami gejolak di dalam bathinnya masing-masing. Bukan soal rumah yang belum terbeli, atau mobil yang belum terlunasi. Bukan pula lantaran sawah yang belum bertambah, atau hal-hal terkait duniawi lainnya.
Soalannya, perasaan antara keduanya. Si wanita yang kini setia menemaninya, bukanlah yang pertama. Ia menerima sejak awal saat dinikahi sebagai yang kedua. Sedianya, ia memahami; cinta bukan soal bilangan yang ke berapa. Ianya adalah sebuah kesatuan, yang semakin banyak bisa saling menguatkan, pun jika hanya satu hingga akhir hayatnya.
Sedangkan si laki-laki, meski ia menikah untuk kedua kalinya, cinta kepada dua istrinya tak jauh beda. Bahkan, pernikahan keduanya juga atas inisiatif istri pertamanya. Meski sakit, tapi perasaan bukanlah pertimbangan yang utama. Si istri pertama menyadari, ada hal besar lain dalam pernikahan yang melebihi sekat-sekat perasaan semata.
Lalu, apa masalahnya? Si laki-laki dizinkan menikah untuk kedua sebab istri pertamanya tak kuasa berikan buah hati. Sudah melakukan banyak upaya manusiawi, termasuk berobat dan lain sebagainya, tapi anak tak kunjung hadir di rumah yang mereka bangun itu. Maka, katanya suatu ketika, “Bang, nikah lagi saja. Agar Abang punya keturunan.”
Dengan berat hati, si laki-laki pun ikuti saran istri pertamanya. Usaha ke sana ke mari, hingga bertemulah dengan wanita yang kini menjadi istri keduanya. Duh, bahagianya. Cinta halal bertemu dalam naungan keberkahan. Meski dicibir oleh banyak kalangan, nyatanya poligami halal adanya.
Hari, pekan, bulan, bahkan tahun berbilang. Persoalan menjadi mengemuka. Sebab niat awalnya menikah lagi agar mendapatkan keturunan, maka kegalauan pun mampir saat si istri kedua tak kunjung terlambat datang bulan. Berupaya sabar, tapi tak ada tanda-tanda kehamilan.
Bagi sang istri, tentu amat dilematis. Berusaha adalah wilayahnya, tetapi memikirkan harapan sang suami yang belum kunjung mewujud adalah kesedihan lain yang sukar ditepis. Kadang, menyayat. Bayangan hadirnya istri ketiga pun muncul. Mulai cinta yang mungkin berkurang, dan lain sebagainya.
Si suami pun mendapati persoalan perasaan yang tak mudah. Memiliki keturunan adalah dambaan, tapi menikah lagi dengan niat serupa dengan niat sebelumnya juga tak sederhana. Ini soal kepemimpinan dan kemampuannya secara umum, juga pertanggungjawabannya kelak di mahkamah akhirat.
Satu hal yang sebenarnya sederhana meski rumit, ialah soalan niat. Bahwa poligami itu, niat utamanya untuk meneladani sunnah Nabi bagi yang mampu. Sedangkan niat lainnya, termasuk mendapatkan keturunan, hendaknya dijadikan yang ke sekian, bukan yang utama.
Jika niatnya karena Allah Ta’ala, apa pun hasilnya pastilah kebaikan. Tapi, jika niat selain-Nya, jika apa yang diniatkan tak didapati, akan amat menyakitkan bagi pelakunya. Pedihnya, poligami jika salah jurusan. [Pirman/Keluargacinta]