Seorang senior tengah berbincang dengan bawahannya. Di sebuah lokasi kerja sekitaran Jawa Barat. Sebagaimana perbincangan sebagian lelaki, tema siang itu tak jauh-jauh amat dari soalan cewek, nikah, dan yang sejenisnya. Namanya juga laki-laki.
“Kamu,” kata si senior, “kalau mau nikah, sebaiknya setelah bulan puasa.” Waktu perbincangan kala itu memang tepat di sekitar Sya’ban. Sedangkan terdakwa memang terindikasi getol pacaran, dan akan melangsungkan pernikahan dalam waktu yang tak lama. Demikian gosip yang berembus di kalangan pekerja-pekerja.
“Emang kenapa, Pak?” tanya si bawahan. Terlihat lugu.
“Wah, kamu itu…” ejek si senior. Katanya, “Kalau nikah sebelum atau pas Ramadhan, bisa repot. Bisa-bisa kamu gak kuat nahan ‘itu’ di siang hari.”
Si bawahan, rupanya sudah paham tentang makna kata ‘itu’ yang disampaikan oleh atasannya. Lalu, dengan amat lugu, bawahan itu bertanya, “Memang kalau puasa-puasa gak boleh ‘gituan’, Pak?”
Seketika itu juga, anggota ‘rapat’ di siang hari itu tertawa. Serentak.
Di sinilah pentingnya ilmu. Baik tentang fiqih, komunikasi, manajemen ekonomi, psikologi, dan lain sebagainya yang terangkum dalam dua bidang ilmu; Kalam Allah Ta’ala dan Sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Dengan adanya ilmu, rumah tangga akan berjalan sesuai dengan rute yang telah digariskan-Nya. Bahkan, ketika ada indikasi melenceng, ilmu pulalah yang memberikan petunjuk.
Persis seperti kisah di atas, jika ilmu tiada, soalannya menjadi rumit. Dalam kisah, tertawanya para ‘jamaah’ bukan hanya bermakna ejekan. Tapi, lebih dari itu, ianya merupakan sebentuk keprihatinan. Sebab, di usia bawahan yang mendekati angka dua puluh lima tahun dan telah bertahun-tahun pacaran, ia tak tahu tentang hukum fiqih yang paling sederhana.
Miris. Dan seharusnya kita bersedih. Baik tentang peran kita sebagai pendidik, atau tentang kesibukan dia dan orang-orang yang serupa; selama ini ke mana saja?
Bukankah tidak ada alasan untuk menjadi bodoh selain kemalasan yang dituruti? Apalagi di zaman ketika ilmu menjadi murah dengan adanya mesin pencari. Apa saja yang kita butuhkan, cukup ketik kata kunci, dan silakan nikmati sajian jawaban yang ditawarkan.
Tentu, ini bukan ajakan untuk hanya belajar dari dunia maya. Bukan di tulisan ini bahasannya.
Sekali lagi, kita kudu berilmu. Apalagi, di dalam rumah tannga, persoalannya tak sekadar ‘itu’. [Pirman/Keluargacinta]