Sejujurnya, aku tak mau mengisahkan episode perjalanan pahitku dalam berumahtangga. Akan tetapi, setelah berpikir, dengan merahasiakan identitas diri dan mantan suamiku, aku berubah pikiran. Kukisahkan kepahitan hidup ini sebagai pembelajaran untuk semua wanita di mana pun mereka berada. Agar mereka tidak salah pilih, jika belum menikah. Dan, agar dikaruniai kesabaran, jika memang sudah menjalani biduk bernama rumah tangga.
Hari itu, televisi di rumah kami rusak. Meski aktif dalam dakwah di sekolah-sekolah dan masyarakat, aku dan suami sepakat untuk tetap memiliki televisi sebagai salah satu jalannya masuk informasi. Maklum, aku dan suamiku hidup di era tahun 80-90-an. Informasi belum semasif sekarang, dan televisi merupakan sumber informasi yang utama.
Suamiku pun memanggil tukang servis. Dua orang. Setelah mereka datang, aku pamit kepadanya. Mau pergi ke pasar. Membeli sayur dan bahan makanan untuk siang dan sore nanti. Anak-anak sudah berangkat ke sekolah semuanya.
Entah apa sebabnya, tiada angin atau hujan, saat tengah memilih bahan-bahan makanan, suamiku datang dengan rona wajah yang memerah. Tak mengatakan apa pun, ia langsung memegang tanganku. Kencang. Lalu menariknya dengan kasar. Hampir jatuh. Untunglah, aku bisa mengimbangi kecepatan jalannya. Sehingga mampu bertahan, meski terseok-seok, dari tempat belanja sampai rumahku.
Sampai di rumah, amarahnya tak mereda. Semakin bengis. Pukulan pertamanya mendarat di badanku, diikuti dengan dorongan keras hingga aku terjatuh. Sembari menyemburkan kalimat kemarahan, setelah melihat badanku meringkuk di tanah, kakinya pun ikut serta menyakiti badan yang saban hari kugunakan untuk mencari nafkah. Diinjak-injaklah badanku, tanpa sedikit pun belas kasihan.
Agak lama. Padahal, di rumah ada dua orang tukang servis. Mereka menyaksikan adegan itu dengan mata terbelalak. Sementara perasaanku malu tak karuan.
Kala itu, aku tak bisa berpikir jernih. Beberapa jam setelah kejadian memilukan itu, barulah otakku bekerja kembali dengan baik. Aku berusaha mengingat kronologi kejadiannya dan muntahan kalimat amarah dari suamiku.
Sangat tak logis, sebab amarahnya hanya karena keterlambatanku pulang dari pasar. Pasalnya, kerusakan televisi di rumah tidak parah. Karena dua tukang servis itu hendak pamit, sementara suamiku tidak memegang uang. Dan kepergianku ke pasar dianggapnya terlalu lama. Pikir buruknya, aku santai dan membuang-buang waktu untuk bergosip.
Padahal, belanjaan yang hendak kubeli belum tunai separuhnya. Aku pun belum lama berada di pasar. [Pirman/Keluargacinta]