Sebagian orang yang tidak sepakat dengan poligami akan berdalih bahwa poligami baru dianggap sunnah jika dikerjakan setelah istri pertama meninggal dunia. Pendapat ini dinisbatkan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang baru menjalani poligami setelah wafatnya istri pertama, Ummu Khadijah al-Kubra.
Pendapat ini cacat dari beberapa sisi.
Pertama, jika penisbatan kepada Nabi yang baru poligami setelah Ummu Khadijah wafat, maka seharusnya mereka juga berpendapat demikian, “Seorang muslim baru dikatakan menjalankan sunnah menikah ketika laki-laki berumur 25 tahun menikahi janda dua kali yang usianya 40 tahun, sebagaimana Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menikahi Ummu Khadijah yang berumur 40 tahun dan dua kali menjanda.”
Jika demikian, betapa sukarnya menggapai derajat sunnah Nabi?
Yang lebih tepat, nikah tetaplah sunnah. Berapa pun usia si laki-laki dan perempuan, selama memenuhi syarat dan dikerjakan berdasarkan syariat Islam, maka nikahnya tetap dinilai sebagai meneladani Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi wa Sallam.
Kedua, poligami disunnahkan sebagai jalan keluar atas maraknya zina. Laki-laki, sesuai fitrahnya, memang diciptakan ‘doyan’ dengan wanita. Bahkan, sebelum Islam, laki-laki memiliki istri lebih dari satu hingga tak terbatas.
Lalu, Islam hadir sebagai solusi dengan seabreg syariat yang harus dikerjakan bagi mereka yang kuat menjalankan sunnah poligami ini. Sebab, sebagaimana sunnah lainnya, tidak semua orang mampu menjalani kehidupan poligami.
Bukankah dengan dinikahi maka seorang wanita bisa menuntut haknya setelah mengerjakan kewajiban? Bandingkan dengan perselingkuhan dan perzinaan yang hanya menghasilkan kegelapan, kesengsaraan, dan kenestapaan di dalam hidup?
Sungguh, Islam tidak mensyariatkan suatu hukum, kecuali di dalamnya terdapat kebaikan yang amat banyak.
Ketiga, betapa kejamnya anggapan yang mengatakan bahwa baru disebut sunnah jika berpoligami setelah istri pertama meninggal. Bukankah anggapan ini seakan-akan bermakna, “Tunggu istrimu mati. Baru menikah lagi!” Lantas, jika takdir umur panjang diberikan kepada para istri, haruskah para suami berdoa agar istrinya meninggal lebih awal atau bahkan membunuhnya?
Terakhir, bersikaplah adil terhadap poligami. Biarkan dia sebagaimana disyariatkannya. Jika memang tak sepakat, tak perlu banyak berkomentar. Cukup akui bahwa Anda belum mampu.
Bagi sahabat-sahabat kita yang sudah menjalani, doakan agar mereka bersikap adil, dan istrinya diberi kesabaran serta kekuatan agar rumah tangganya sukses dunia dan akhirat.
Jika memang keluarga poligami dilanda prahara, doakan. Jangan perkeruh kondisi dengan mengatakan, “Saya bilang juga apa? Gaya-gayaan melakukan poligami!” Cukuplah doakan dan tidak turut membicarakan keburukan yang terjadi di keluarga tersebut.
Bukankah jumlah pernikahan monogami yang bermasalah juga sangat banyak? [Pirman/keluargacinta]
2 Comments
Comments are closed.