“Kami baik-baik saja,” aku wanita berparas teduh ini, di hadapan saudara seaqidahnya. Lalu suasana hening. Hanya desah nafas yang terdengar, disertai degup jantung sang Muslimah yang mulai mengencang. Kerap.
Tak lama setelah itu, lantaran penerimaan dan piawainya saudara seaqidah mengambil hati sang Muslimah, ia pun bertutur, mengakui semua persoalan yang membelit rumah tangganya. Belitan masalah yang serius, meski di luar, dalam pandangan khalayak, ia dan suaminya terlihat sangat serasi. Pasangan ideal.
“Entah,” aku sang Muslimah, “aku sampai lupa, kapan terakhir kali mendapatkan sentuhan lembutnya.” Hubungan yang terjalin di antara mereka pun tak ubahnya pertemanan. “Jangankan mengarah pada ‘menu utama’, pelukan pun sudah tak pernah.”
Bagi istri, sentuhan dan kontak fisik dengan suami bukan sekadar pelampiasan. Sangat berbeda dengan pandangan dan kesan seorang laki-laki.
Wujud cinta. Itu yang utama. Semakin sering suami melakukan sentuhan, pegangan tangan, ‘kenakalan’ mengejutkan, hingga ‘paksaan’ yang dialamatkan kepada istrinya berbanding lurus dengan kualitas cinta.
Sebaliknya, saat tak lagi mendapatkan hak biologisnya sebagai istri, ia akan merasa sebagai wanita yang tidak dibutuhkan. Bahkan, jika berlangsung lama, ia akan nyaman dengan hidup tanpa sentuhan, apalagi jika alami trauma saat mengajak, tapi suami menolaknya dengan banyak alasan.
Wanita yang tak mendapatkan hak ini, akhirnya akan mencari hal lain yang juga menjadi kegemarannya. Biasanya belanja, atau kebiasaan lain yang bisa membuat dirinya lupa dengan masalah.
Menjadi pelik jika kemudian, lantaran tumpukan hasratnya, sang wanita tak akan segan untuk mencari laki-laki lain yang bisa memenuhi ekpektasinya. Ini terjadi jika agama tak lagi dijadikan pedoman oleh si wanita, meski suami pun turut bersalah lantaran tak lakukan kewajibannya dengan baik.
Maka fenomena yang marak ini dijadikan oleh Sayyidina Umar bin Khaththab saat menjadi Khalifah kaum Muslimin. Beliau menetapkan batas maksimal bagi seorang laki-laki yang meninggalkan istrinya untuk keperluan syar’i sekalipun. Batasnya, sebagaimana disebutkan dalam banyak riwayat, tiga, empat, atau enam bulan.
Kepada siapa pun laki-laki berpredikat suami yang telah berlaku zalim dengan melakukan perbuatan ini, hendaknya Anda takut kepada Allah Ta’ala. Berikan hak istrimu, meski Anda tidak membutuhkannya. Sebab jika istri terjerumus dalam kekeringan ruhani dan tumpulnya potensi diri, kelak Anda akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat.
Anda juga perlu berpikir masak-masak. Jika memang tak mau lagi, ceraikan saja. Jangan siksa istri-istrimu karena ketidakmampuanmu berlaku jantan. Apalagi, di luar sana, banyak laki-laki tak beristri yang sangat mendambakan kebutuhan ini.
Wallahu a’lam. [Pirman/Keluargacinta]
1 Comment
Comments are closed.