Beberapa pekan yang lalu kami dipertemukan dengan seorang laki-laki baik hati. Usianya sekitar 40-an tahun, badannya tegap, ototnya kekar, murah senyum, dan renyah saat berbicara. Dalam pertemuan yang bukan kebetulan itu, dia berseloroh, tapi serius.
“Gak tahu ya, Pak? Saya itu merasa kalau sehari harusnya lebih dari 24 jam, sepekan harusnya lebih dari 7 hari.” Tentang alasannya, dia melanjutkan, “Kayaknya kurang kalau untuk bekerja.”
Laki-laki keturunan Jawa ini, akhirnya bertutur bahwa dia jarang berada di rumah. Bahkan, sabtu-ahad yang biasanya dimanfaatkan oleh keluarga lain untuk berlibur, dia memilih untuk tetap bekerja. “Saya hanya libur kalau janji sama anak untuk jalan. Selebihnya, saya lebih suka keluar.” akunya bertabur senyum.
Di luar kebiasaan sang laki-laki yang doyan kerja, sejatinya ada hal lain yang luput diperhatikan oleh para istri. Harusnya, mereka melontarkan tanya ke dalam dirinya sendiri, tepat di lubuk nuraninya yang paling dalam, “Mengapa suami tidak betah di rumah? Mengapa suami lebih suka menghabiskan waktu untuk bekerja dan bersama teman-temannya?”
Secara umum, laki-laki akan menikmati apa yang menjadi kecenderungan hatinya. Hal ini menjadi alasan utama, mengapa saat baru menikah, ia tidak mau sibuk dengan urusan kerja dan komunikasi dengan teman-teman sekolah, kampus, atau tempat kerjanya.
Baru mengenal, banyak yang belum diketahui, masih seru-serunya. Umumnya begitu. Bahkan, banyak di antara mereka yang bekerja sebagai karyawan kantoran atau profesi apapun, sering ‘modus’ minta izin di siang hari karena ada ‘hal’ lain yang memang jauh lebih penting dari rutinitas bekerja.
Namun, seiring berjalannya masa, saat usia pernikahan semakin bertambah, anak-anak lebih dari satu, dan banyak alasan lainnya, suami mulai tidak betah berlama-lama di rumah. Pergi pagi pulang petang. Sepekan hanya mengambil rehat satu hari, dan pola sejenis lainnya. Bahkan, ada yang mengambil jeda begitu lama agar tidak terlalu sering bertemu dengan istrinya.
Persoalan ini, sejatinya sederhana. Hanya perlu didudukkan secara proporsional. Jika memang suami-istri sudah terbiasa dengan pola seperti itu, tiada masalah yang perlu dikelarkan. Tapi, jika tidak betahnya suami karena ‘ulah’ istri, anak-anak, atau anggota keluarga lain, hal ini harus segera dicarikan solusi, terutama oleh istri sebagai pihak terdekat dengan suami.
Jangan sampai, tanpa disadari, suami Anda diam-diam memiliki rumah lain, menikah secara sirri atau ‘jajan’, karena sudah tidak betah lagi tinggal di rumah Anda, sementara Anda sendiri tidak benar-benar mengupayakan agar suami betah di rumah.
Jadi, carilah sekian banyak alasan agar suami betah di rumah dengan tetap memiliki gelora cinta yang membara saat harus keluar mencari nafkah untuk Anda, anak-anak, dan keluarga.
Wallahu a’lam. [Pirman/Keluargacinta]