Ayah, katanya, melodi paling indah. Ada jutaan rasa yang menyeruak, saat seorang laki-laki resmi dipanggil dengan kata tersebut. Begitu menyegarkan, menyejukkan, dan membuat lelah seketika meluruh, saat seorang laki-laki dipanggil dengan sebutan ayah.
Namun, tak semua ayah menyejukkan. Tidak semua laki-laki bernama ayah menenangkan. Di luar sana, ada begitu banyak ayah yang payah, tak kuasa menjadi teladan, bahkan sering kali berperan paling utama dalam menjerumuskan seorang anak dan istrinya dalam lubang nista, sengsara, dan duka.
Di antara laki-laki yang dipanggil ayah itu, ada yang bawaannya ketus. Pelit senyum. Enggan mendengarkan anaknya bertutur. Bahkan waktunya habis di tempat kerja atas nama berjuang memberi nafkah. Saat akhir pekan atau hari libur pun, dia harus beranjak ke tempat kerja. Lembur. Demi dapur senantiasa mengepul. Demikian dalihnya. Amat banyak faktanya.
Jika pun benar demikian, apakah laki-laki berjuluk ayah itu tak bisa menyempatkan waktu sejenak untuk anak-anak yang merindukannya? Untuk sosok-sosok suci yang menginginkan dan membutuhkan kehangatan, teladan, dan senyuman yang menyejukkan jiwanya?
Laki-laki lainnya, masih dengan predikat ayah, berlaku lebih takmanusiawi. Lantaran salah memaknai julukan pemimpin, dia berlaku diktator kepada istrinya. Berkata kasar, bahkan amat mudah mendaratkan pukulan atau serangan fisik lainnya. Parahnya, semua itu dilakukan di depan anaknya.
Bagi perempuan atau anak-anak yang lembut dan halus hatinya, perkataan kasar saja sudah amat menyayat. Apalagi jika kalimat kasar dilontarkan saban hari dengan iringan kekerasan fisik? Benarkah laki-laki ini layak disebut dengan melodi terindah bernama ayah?
Di belahan bumi lainnya, ayah justru berlaku durjana. Ya Allah, lindungi kami dari menjadi ayah jenis ini. Lindungi anak-anak kami dari kejahatan mereka.
Mereka yang disebut ayah itu, merenggut ke-gadis-an anak kandungnya. Dizinai. Padahal, usianya masih belia. Belum juga datang bulan. Belum juga mengenal dunia. Namun, bahagianya sudah dirampas oleh laki-laki yang seharusnya menjadi pelindung bagi kelemahan dirinya selayaknya seorang putri.
Bahkan, ada laki-laki terpanggil ayah yang melakukan perbuatan amoral itu kepada anak laki-lakinya. Meniru perbuatan kaum Nabi Luth yang disebut sebagai perbuatan maksiat, kotor, dan merupakan penyakit.
Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.
Wahai para lelaki, belajar menjadi ayah dengan memperbanyak dan mendalami ilmu jauh lebih layak kau perjuangkan di banding sibuk mencari wanita-wanita cantik untuk kau jadikan pacar.
Wallahu a’lam. [Pirman/Keluargacinta]