Bagi sebagian lelaki, termasuk yang sudah bersentuhan dalam dakwah: ikhwan, ada setelaga kepercayaan diri pada potensi, bakat, atau sekadar nikmat eloknya fisik yang dianggapnya mampu menaklukkan perempuan. Dengan kepercayaan diri atas kelebihannya itu, ia pun begitu yakin cintanya pada sang perempuan idaman semudah membalikkan telapak tangan. Perempuan mana yang enggan menolak diri ini? Begitu pikirnya penuh mantap, lantas melangkahkan kaki untuk menyeriusi dalam pelaminan.
Sayangnya, kepercayaan diri itu tidak sebening air telaga. Ada banyak misteri pada kalangan perempuan, juga akhwat, yang kerap gagal disalahkaprahi kaum adam. Seolah kelebihan diri akan mudah memikat si pujaan hati. Alih-alih terpesona, si perempuan malah terpikat pada lelaki lain yang menurut subjektif kita di bawah kapasitas diri ini.
Jadilah, persuaan yang indah dalam angan hanya berakhir dalam impian. Bersama si fulanah yang hendak diperistri, ternyata berujung penolakan. Bukan di detik akhir taaruf, bahkan sejak bertukar biodata pun si perempuan tidak sudi. Istimewanya menurut si lelaki ternyata berbeda menurut si perempuan. Yang biasa-biasa saja malah begitu menyentuh hatinya; yang merasa diri istimewa justru hanya menjadi penonton indahnya pesona. Tentu saja, bila tolakan sebagai jawaban, memuja sang calon cinta harus dihentikan segera.
Ada banyak kisah laki-laki yang mengerti kelebihan diri, tetapi gagal ketika beroleh calon istri. Kelebihan diri yang diagungkan, ternyata tidak lebih sebagai sebuah standar biasa-biasa saja di mata perempuan atau akhwat. Maka, si optimis pun kerap terpuruk mendadak ketika cintanya tidak berlabuh. Dan cinta yang awalnya diharap terajut, tiba-tiba harus dihentikan. Kandas bak tebing diterjang berulang oleh ombak penolakan.
Saat optimis penuh harap berdiri tegak, yang sayangnya dijawab ia tersayang dengan balasan ‘tidak ingin bersamamu’, maka terbitlah derita. Sebuah derita yang kadang menghancurkan kepingan hari-hari depan yang pernah dirancang. Hari-hari esok yang penuh harap harus diakhiri lantaran cinta yang diasai tiba, malah lahirkan derita.
Berawal dari kepingan derita, berhari-hari terbayanglah wajah optimis yang pernah hadir untuk persunting ia. Dan setiap bayangan optimis itu hadir, semakin sakitlah hati ini. Ini karena akhir dramanya sudah sejak awal mengiris hati. Ya, karena sang perempuan atau akhwat pujaan sudah berlabuh di hati yang lain.
Tidak mudah bagi yang sudah merangkai impian untuk tiba-tiba beralih ke visi berbeda. Visi bersama perempuan atau akhwat lain yang tidak memantulkan wajah lama yang pernah menolaknya mentah-mentah dengan sekian alasan. Rangkaian impian penuh kebanggaan harus seketika ‘dihancurkan‘ pada satu nama. Duhai, derita apa lagi bagi lelaki yang tidak siap cintanya ditepis sang pujaan?
Pada lelaki yang pernah merangkai mimpi, derita cinta tidak berbalas indah adalah sebuah episode yang menguji. Menahan kesabaran tersebab kita menancapkan diri sebagai lelaku istimewa dan pantas bersanding dengan sang pujaan. Padahal, boleh jadi, keistimewaan yang dianggap itu taklebih bukan prestasi yang patut dibanggakan.
Derita cinta tidak berbalas indah adalah sebuah lakon yang kudu disigapi para pelaki. Agar keyakinan diri tidak berakhir dengan kekecewaan hati. Agar potensi diri yang dipandang indah tidak tiba-tiba disurutkan hanya karena sang pujaan menarik atau menolak diri ini. Justru sebaliknya, ia harus buktikan di medan lain istimewanya diri. Tentu, tidak lagi dalam lakon kepercayaan hati yang dekati kejumawaan diri. Yang ada kerendahan hati untuk merangkai mimpi. Bersama calon pujaan baru tapi dengan penataan hati lebih mumpuni. [ Yusuf Maulana]
2 Comments
Comments are closed.