Betapa bahagianya wanita ini di bilangan belasan bulan lepas percerainnya dengan sang suami. Ujian sebagai wanita tanpa suami dengan amanah satu orang anak akan segera kelar, ketika seorang laki-laki memberanikan diri datang ke rumahnya.
Meski jarak usianya terbilang banyak, wanita ini tidak mempermasalahkan, sebab yang menjadi acuan pilihan adalah agama. Ia yang belum genap dua puluh lima tahun kala itu memutuskan menerima pinangan lantaran mengetahui bahwa si laki-laki menjaga shalatnya. Bukan lantaran alasan lain.
Dalam tempo yang amat sederhana dan masa yang amat singkat, pernikahan itu dihelat, di rumah si wanita. Di siang hari menjelang sore, saat hari kerja. Dalam prosesi sakral yang disaksikan oleh dua belah pihak mempelai dengan wali paman si wanita, ijab qobul selesai dalam bilangan beberapa menit.
Sebab ada urusan yang harus dikelarkan, sang laki-laki bersama rombongannya pamit setelah akad nikah, dan baru menunaikan tugas sebagai suami di bilangan hari berikutnya. Si wanita menerima dengan lapang, sebab itu jalan yang dia pilih.
Singkat kisah, pernikahan itu berjalan dalam bilangan yang lumayan lama. Empat tahun. Atau empat puluh delapan bulan. Keduanya menjalin hubungan suami-istri dengan ujian yang terjal dan rumit, terutama bagi si istri.
Ujian bagi wanita baik hati itu justru berasal dari keluarga suaminya. Bukan orang lain, tapi istri dan anak-anak suaminya itu. Ya, wanita yang sehari-hari berjualan berbagai jenis kue ini dinikahi sebagai istri kedua.
Masalah makin runyam tatkala si wanita tahu bahwa suaminya itu ‘main belakang’. Dia menikah tanpa izin dari istri pertama, sedangkan istri pertama tidak paham nilai-nilai agama terkait bolehnya poligami dan tiadanya landasan syariat bagi suami untuk izin kepada istri pertama saat hendak menikah untuk kedua kali.
Bagi si wanita yang dinikahi sebagai istri kedua, ujian-ujian dari madunya baru terasa dalam bilangan empat tahun pernikahannya itu. Ia sudah enggan melanjutkan sabar, sebab ada jalan keluar yang memang bisa ditempuh, dan syariat membolehkannya.
Di bilangan empat tahun itu, suaminya tidak pernah berkunjung dalam empat bulan terakhir. Tanpa berita. Tanpa nafkah. Wanita itu menanggung semua biaya hidup seorang diri, untuk menghidupi satu anak dan keluarganya.
Di bilangan masa itu pula, si wanita baru paham bahwa dia dimanfaatkan. Suami keduanya benar-benar tidak bergaul dengan baik. Ia cuek dengan sekitar. Bahkan jarang berdiskusi atau bertegur sapa dengan anak dan keluarga si wanita.
“Dia,” tuturnya dengan nada amat pilu, “hanya datang satu kali dalam sepekan. Itupun hanya untuk ‘bergaul’ denganku, tanpa pernah memperhatikan sekitar.”
Rumitnya, wanita ini sukar ajukan gugatan cerai meski tidak dinafkahi selama catur wulan. Sebab, pernikahan yang dihelat empat tahun silam itu dilakukan di bawah tangan, tapa catatan dari kantor urusan agama setempat. Nikah siri.
Semoga Allah Ta’ala berikan kesabaran bagi Muslimah ini dan memudahkan seluruh soalan kehidupannya. Aamiin.
Wallahu a’lam. [Pirman/Keluargacinta]