Diriwayatkan secara terpercaya oleh Imam at-Tirmidzi, Ibnu Hibban, ad-Darimi, al-Baihaqi, dan al-Haitsami Rahimahumullahu Ta’ala, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam bersabda bahwa sebaik-baik kalian (suami) adalah yang paling baik sikapnya terhadap istrinya dan beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam adalah yang paling baik sikapnya kepada suaminya.
Di antara tafsiran yang menarik terkait hadits ini kami dapati dari Ustadz Abu Umar Basyir dalam buku larisnya Sutra Ungu.
Tutur beliau di halaman 27, “Berupaya menjadi yang terbaik tentu bukan hanya sekadar dalam urusan hal mencari rezeki, mengumbar senyum, dan membimbing istri, tetapi juga dalam hal memenuhi seluruh kebutuhan istri, termasuk kebutuhan jima’.”
Jima’ merupakan keniscayaan dalam hubungan suami-istri. Ia sangat berpengaruh dalam menentukan bahagia atau tidaknya sebuah ikatan pernikahan. Ia menjadi penentu pula bagi tercapainya sakinah, mawaddah, dan rahmah dalam mahligai bernama rumah tangga.
Sayangnya, sebagian kaum Muslimin masih bersikap tidak adil. Sebagian mereka terjebak dalam kelompok yang mendewakan jima’ hingga menghalalkan segala cara demi tergapainya kepuasan. Sebagian lainnya acuh hingga rumah tangganya berantakan lantaran kebutuhan asasi itu tidak tercukupi dengan baik.
Jima’ butuh ilmu. Islam telah memberi petunjuk untuk menyempurnakannya sebagaimana dicontohkan dalam kehidupan Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wa sallam. Karenanya, sebaik-baik jima’ adalah sebagaimana dicontohkan oleh beliau nan mulia kepada istri-istrinya.
Jima’ ada etikanya. Ada awalannya. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam tidak memperkenankan seorang suami yang mendatangi istrinya seketika, dan langsung ke menu utama. Dianjurkan untuk melakukan pemanasan dengan kalimat dan juga perbuatan yang disyariatkan.
Tidak diperkenankan pula marah-marah sampai memukul istri, lantas malam hari didatangi untuk meminta ‘jatah’.
Masih banyak aturan-aturan lain yang jika dikerjakan dengan baik, insya Allah akan sangat berkontribusi positif dalam pencapaian bahagia dan berkahnya sebuah rumah tangga. Begitu pun seperangkat larangan yang benar-benar tidak bisa ditoleransi, seperti memasukkan ke dubur, melakukan saat datang bulan, dan mengisahkan secara detail kepada orang lain terkait hubungannya itu.
Oleh karena itu, seorang Muslim harus bertindak aktif untuk mencari ilmu. Sebab jima’ ini tak bisa dipandang sebelah mata. Ada begitu banyak rumah tangga yang berantakan dan pasangannya selingkuh lantaran tidak mendapatkan kenikmatan menenangkan dalam hubungannya bersama pasangan.
Sungguh, sebaik-baik suami adalah yang paling baik jima’nya kepada istri. Dan sebaik-baik istri adalah yang paling baik jima’nya bersama suami.
Wallahu a’lam. [Pirman/Keluargacinta]
2 Comments
Comments are closed.