Satu di antara sebab gagalnya rumah tangga adalah berantakannya persoalan yang berhubungan dengan kebutuhan biologis, terkait jima’ dan seluruh aspek di dalamnya. Kekeliruan memahami soalan jima’ dimulai dari banyaknya anggapan keliru terkait salah satu faktor tak terpisahkan bahkan faktor utama dalam memengaruhi bahagia (berkah) atau tidaknya sebuah rumah tangga.
Di dalam buku Sutra Ungu (Panduan Berhubugan Int*m Dalam Perspektif Islam), Ustadz Abu Umar Basyir menjelaskan beberapa kekeliruan pemahaman tentang jima yang mewabah hampir di seluruh sendi masyarakat hingga sebagian besar kaum Muslimin.
Jima’ dianggap kotor, tabu, bisa dikerjakan dengan benar tanpa petunjuk, bebas, sama saja antara orang Islam dan non-Islam, hanya termasuk perkara dunia, tidak akan mencemari harga diri, dan hanya boleh dipelajari setelah menikah.
Dalam tulisan singkat kali ini, kami hendak membahas anggapan yang terakhir. Masyarakat beranggapan bahwa jima’ hanya boleh dipelajari setelah menikah, dan ini salah besar. Akan lebih tepat jika pendidikan terkait hal ini diberikan kepada anak-anak sejak mereka baligh dan mendapatkan predikat taklif.
Mulailah mengajarkan dengan membahas adab pergaulan lawan jenis dan pergaulan sesama jenis sesuai syariat Islam. Ialah tentang aurat, pola interaksi, kesucian fisik, pikiran, dan ruhani.
Kaum Muslimin harus dipahamkan sejak dini tentang anggota badan, organ-organ penting, organ-organ khusus, termasuk alat yang digunakan untuk jima’ dalam perspektif fiqih dan keilmuan yang jauh dari makna terlarang.
Pahamkan pula efek jika terjadi interaksi, pun sebatas melihat dengan syahwat, menyentuh yang bukan muhrim, dan seterusnya.
Bayangkan, apa yang akan terjadi jika anak-anak kita pahamkan bahwa melirik lawan jenis saja dibatasi dan diatur oleh al-Qur’an, apalagi dengan interaksi lain yang melibatkan fisik semacam bersentuhan?
Sampaikan ancaman-ancaman sentuhan dengan lawan sejenis sebelum halal sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam dalam banyak sabdanya.
Sehingga, urusan fiqih jima’ ini harus dimulai sejak dini. Orang tua dan ustadz harus berperan aktif. Jangan biarkan anak-anak mencari sendiri lewat tayangan dan bacaan yang tidak mendidik.
Sampaikan dengan cara yang baik dan mohonlah pertolongan Allah Ta’ala.
Jika manasik haji saja harus dipelajari jauh-jauh hari sebelum kita berangkat ke Tanah Suci, maka fiqih jima’ pun demikian adanya.
Wallahu a’lam. [Pirman/keluargacinta]