Jima’ merupakan kebutuhan suami dan istri. Harus dipenuhi sebagai kewajiban dan hak, untuk menundukkan syahwat, melahirkan bahagia dan tenteram, menyehatkan badan, serta bernilai ibadah nan agung, senilai pahala sedekah.
Namun demikian, hendaknya suami dan istri merencanakan dengan baik. Jangan asal melakukan hubungan ini. Sebab jika sampai berlebihan dan memaksa diri, akibatnya sangat buruk sebagaimana dijelaskan oleh para ulama.
“Tidak selayaknya jika syahwat dibuat-buat atau dipaksakan (hingga seseorang) memaksa diri untuk bisa ‘mendatangi’ istrinya.” tulis Ustadz Abu Umar Basyir dalam Sutra Ungu mengutip penjelasan Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyah dalam ath-Tib an-Nabawi.
Hendaknya mendatangi istri dilakukan pada waktu yang tepat, ialah tatkala syahwat memuncak dan sp*rma sudah menumpuk. Sebab jika tidak segera ditunaikan akan mengakibatkan perasaan gelisah dan terganggunya kesehatan fisik seseorang.
Dalam kelanjutan nasihatnya ini, Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyah juga menyarankan beberapa jenis orang untuk tidak memaksakan diri melakukan jima’. Ialah orang yang terlalu tua, terlalu muda, sakit, rupa yang buruk, dan menjijikkan. Tentunya, buruk rupa memiliki indikator yang berbeda, disesuaikan dengan selera masing-masing.
Di antara hikmah larangan ini disebutkan, “Jima’ dengan orang-orang seperti itu akan melemahkan stamina dan memperlemah syahwat secara khusus.”
Lantas, kapan dan bagaimana hubungan yang paling baik? Beliau menjelaskan, “Hubungan jima’ yang paling baik ialah yang dilakukan sempurna sesuai proses metabolisme tubuh. Ialah pada kondisi tubuh yang seimbang antara suhu panas dan suhu dingin, antara kadar kering dan kadar kelembabannya.”
Oleh karena itu, hendaknya pasangan suami istri merencanakan ‘ritual’ ini dengan baik. Perhatikan kondisi tubuh, kesibukan masing-masing, tempat serta suasana yang tepat. Hanya dengan perencanaan yang baiklah maka tujuan dari hubungan ini akan bisa dicapai dengan optimal.
Namun demikian, ada saatnya bagi setiap pasangan untuk mendiskusikannya dengan baik hingga bisa melakukan ‘kesibukan penghuni surga’ ini dalam tempo yang singkat, sesekali, disesuaikan dengan keadaan.
Dengan demikian, masing-masing diri akan merasa dibutuhkan. Sebab ianya memang hanya bisa diberikan oleh pasangan kepada pasangannya, secara khusus, dan tidak bisa diwakilkan.
Jika terlalu ketat dalam penjadwalan dan tidak disepakati oleh salah satu pihak, akan lahir kesan malas dan enggan melayani pasangan. Dan ini amat berbahaya!
Wallahu a’lam. [Pirman/Keluargacinta]