Datanglah dua orang terbaik yang melamar Muslimah ini. Pertama, seorang laki-laki terhormat. Pejuang. Nasabnya mulia. Bisnisnya moncer. Tapi, si ayah tidak bergeming. Ia hanya diam. Lamaran laki-laki jangkung ini bertepuk sebelah tangan.
Tak lama setelah itu, datanglah laki-laki kedua. Ia merupakan laki-laki terbaik kedua pada masa itu. Gagah. Kuat. Berani. Terhormat. Pebisnis. Kaya. Dan tegas. Namun, si ayah kembali diam. Ia benar-benar tak sampaikan penolakan. Tapi diamnya sudah cukup menjadi dalil bahwa dia tidak menerima lamaran si laki-laki kedua.
Lalu laki-laki ketiga datang. Ia takut. Minder. Tapi, beberapa sahabatnya menyemangati. Datanglah, kata sahabatnya. Siapa tahu, lanjut mereka, kamu diterima. Tapi, si laki-laki muda ini punya logikanya sendiri. Jika dua seniorku dan orang terbaik dari kaum ini saja ditolak, apakah ada peluang bagiku untuk diterima? Demikian bisik si pemuda, ke dalam hatinya.
Tapi, atas berkat rahmat dan kekuatan dari Allah Ta’ala, pemuda yang terkenal cerdas ini benar-benar maju. Ia ingin mencoba. Siapa tahu, wanita idaman itu jodohnya. Siapa tahu, dia berhak menjadi bagian keluarga terbaik di masa itu dan masa-masa selepasnya.
Taqdirnya, si ayah menyampaikan dua kalimat yang monumental, “Ahlan wa sahlan.” Satu kata saja sudah bermakna penerimaan. Maka dua kata berarti persetujuan tanpa alasan.
“Kamu kemana saja, Nak Mas? Kami menunggumu dari tadi.” kurang lebih begitu.
Mengapa pemuda ini yang ditunggu? Sebab si pemuda memiliki beberapa kemiripan dalam karakter dan usia di banding dua soosk terbaik sebelumnya. Dan inilah di antara makna satu kufu dalam pernikahan.
Pernikahan berkah pun dilangsungkan. Sangat sederhana. Maharnya bukan emas. Hanya perhiasan dari besi. Tapi, pernikahan barakah dan menyejarah-dari dulu sampai Kiamat nanti-memang tidak pernah mensyaratkan mahalnya mahar.
Kemudian, sepasang insan dimabuk cinta ini memutuskan untuk menempati rumah sendiri. Soalannya, keduanya tidak punya uang. Bahkan untuk makan saja susah, apalagi untuk membeli rumah.
Beruntungnya ada sahabat keduanya dan sahabat ayahnya yang bermurah hati. Ia memberikan satu rumahnya agar ditempati oleh dua insan terbaik ini. Mulanya, keduanya menolak. Enggan menerima pemberian. Tapi, si pemilik rumah bersumpah untuk tidak memasuki rumah itu lagi.
Akhir kisah, rumah itu diterima dengan syarat; dicicil.
Sang pemilik rumah sepakat. Cicilannya sangat murah. Temponya pun amat memudahkan. Berkah. Halal. Baik. Tak ada pihak yang dizhalimi. Alhamdulillah.
Siapapak sosok-sosok yang terlibat dalam kisah nan monumental ini?
Si ayah adalah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam. Si anak yang dilamar ialah Sayyidatina Fathimah binti Muhammad. Laki-laki pertama yang melamar adalah sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq. Laki-laki kedua ialah Sayyidina ‘Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu.
Dan, laki-laki yang diterima lamarannya, tiada lain adalah Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib. Kelak, terlahirlah Hasan bin Ali, Husain bin ‘Ali dan Zainab binti Ali. Semuanya ahli surga.
Tidakkah kita malu setelah membaca kisah ini? Mereka semua ahli surga. Sang suami, istri, dan anak-anaknya. Semuanya ahli surga. Sang laki-laki dan anak serta keturunannya kelak menjadi pemimpin Negara. Namanya terus disebut oleh miliaran manusia. Sifat dan sikapnya senantiasa diteladani.
Mereka membeli rumah dengan mencicil. Tapi, bukan dengan riba.
Wallahu a’lam. [Pirman/Keluargacinta]