Saat hasrat memiliki perempuan atau akhwat tercinta kandas, sebagian dari lelaki atau ikhwan mampu menyikapinya secara tegar. Hari-harinya diarungi dengan tatapan optimis. Pahit dirasa dalam bab taaruf ataupun pinangan, bisa digantikannya dengan keyakinan diri bahwa pasangan terbaik dan terbarakah bukan bersama dia. Misteri jodoh pun tidak lagi menggelayut di pikiran, sebagaimana saat menantikan jawaban si akhwat tadi.
Namun, tidak setiap lelaki mampu dan mau melakoni cerita ketegaran usai derita cinta tak berbalas indah hadir. Sebuah ujian kecil yang hadir ini, sayangnya, banyak memerosokkan para ikhwan. Hari-hari suram masih harus dilalui bersama bayangan: kapankah dia hadir kembali? Kapankan dia kembali untukku? Bagi lelaki atau ikhwan kategori ini, dia dan dia adalah sosok yang niscaya hadir dalam imajinasinya. Rupawan hingga elok budinya terus mewarnai hidupnya hingga hati si lelaki kian menderita menahan sakit.
Bagi penderita cinta tak berbalas indah, imajinasi kehadiran kembali mantan perempuan atau akhwat yang pernah dipuja hati sebuah oase di tengah gersangnya rindu. Walaupun menurut orang lain, itu hanyalah fatamorgana atau bahkan fantasi para insan yang tersesat dalam samudra cinta.
Meskipun absurd cinta para penderita cinta tak berbalas indah, mereka terus memupuk asa. Dihadirkannya kehebatan diri diam-diam. Dipilah-pilihnya sekian orang pengganti yang ditawarkan banyak teman, namun ujungnya adalah penolakan. Mengapa? Karena semuanya masih di bawah standar dia, perempuan yang pernah hadir menghunjam di hati ini. Pun saat para lelaki itu memilih ‘setia’ menanti dalam kesendirian, itu tak lebih dari deklarasi kehebatan diri yang pernah diumbar saat mendekati sang pujaan dulu.
Lelaki yang setia dalam sendiri, terkadang bukanlah soal karena ia hebat dalam kapasitas diri. Bukan pula karena dahsyatnya menahan fantasi syahwat. Sebab, mereka bukan seperti Ibnu Taimiyah yang mampu merepotkan diri dalam pengabdian di ilmu dan umat. Yang banyak kita temui hanyalah lelaki pecundang yang larut dalam temaram angan. Mungkin saja ada yang mencoba menapaki seperti para alim bujang, tapi apakah hati mereka betul tertutup dari syahdunya asmara?
Kesetiaan pada mantan sejatinya bentuk kekalahan lelaki yang gagal mencintai. Cinta terkadang tidak selamanya harus terpenuhi. Hanya karena satu kali tatap lantas suka, tidak berarti esok ia harus mendampingi di pelaminan. Tidak! Ada banyak aspek yang perlu ditimbang. Ada pertimbangan yang butuh banyak aspek.
Kadang memang pahit, kemenggebuan hati berujung ‘kegagalan’. Cinta yang begitu menggelora tutupkan mata hati lelaki agar jernih berpikir. Perempuan rupawan ataukah anggun budinya tidak semata dia. Bilapun ada sesuatu yang dahsyat melekat dalam dirinya, asa memilikinya bukanlah jawaban terbaik.
Menanti dia ‘kembali’, mengubah pikiran untuk bersama kita, adalah syubhat hati yang kudu dienyahkan jauh-jauh. Hidup tidak harus untuk dan bersama dia. Kesetiaan atas cinta kepemilikan raga hanyalah pembodohan diri. Karena ada kesetiaan yang jauh lebih pantas direngkuh para lelaki, yakni saat tulus melepas dia bersama pilihannya dan sejak itu jalinan persahabatan hanya bicara soal sesama umat satu iman. Tidak ada modus untuk merakit cerita lalu.
Kesetiaan terbaik seorang lelaki bujang adalah saat dia melepas pergi perempuan yang begitu dipujanya untuk bersanding dengan temannya. Ikhlas, seikhlas-iklasnya, tanpa mengungkit masa silam atau membangun optimisme ‘kembalinya’ dia di waktu esok. Kesetiaan itu ada pada doa-doa yang dibulirkan pada dia, sang mantan. Buliran doa yang bersih dari lipatan hasrat memiliki jandanya sang teman.
Itulah dedikasi tiada henti seorang lelaki bujang sejati: hadirkan secara syar’i kesetiaan terindah pada mantan. Bukan mendamba kembalinya fisik dia buatmu. [Yusuf Maulana]