Setiap manusia memiliki amarah dan hampir pada setiap orang terdekat pun kita pernah memiliki rasa ini. Kadangkala, rasa marah tidak bisa dibendung pada titik tertentu dan meletus begitu saja seperti gunung api yang laharnya siap melahap lawannya. Lalu bagaimana jika amarah itu terjadi pada ibu kita, seseorang yang seharusnya sangat kita hormati.
“Kamu ini sudah umur berapa, Nduuuuk…. mbok ya ndang nikah! ibu ini malu punya anak perawan ndak nikah-nikah. Dicarikan yang ini ndak mau, yang itu ndak mau, trus seng yak oppo Nduuuk….” tutur ibuku yang tiba-tiba terpotong oleh suara lain.
“Haduuuuh….poseng! Klo gini mending balik ke Surabaya aja! Ibu ini….” suara kakakku ternyata yang menyusul dengan lebih tinggi dan lebih panjang.
Dari dapur kudengar percakapan mengagetkan itu samar-samar. Tak lama, tiba-tiba ibu menghampiriku dan melanjutkan membuat bubur kesukaan kakakku itu. Tak ada ekspresi aneh pada ibu saat itu, seperti tak ada hal buruk yang baru saja terjadi. Tapi, tiba-tiba isak ibu mulai kudengar dan meluncurlah curhatan beliau padaku tentang kesedihannya.
“Anak iku pancen seje-seje nduuuk. Loro atine ibu, mbakmu nglawan koyo ngono iku.(Anak itu memang berbeda-beda nak. Sakit hati ibu, kakakmu melawan seperti itu)” curhat beliau singkat.
Tak ada kata yang dapat kuucapkan saat itu selain, “Sudah bu sudah, nanti darah tinggi ibu kambuh.”
Sembari membantu beliau membuat bubur itu, aku merenungi kejadian singkat itu. Sering juga sebenarnya aku dalam kondisi amarah atau pun sakit hati yang mendalam terhadap beliau. Tapi tak ada yang bisa kulakukan selain diam atau hanya menangis. Bahkan sering sekali justru mengutuk diri sendiri yang kurang ikhlas dengan sikap ibu, masih ‘ngedumel’ dalam hati, astaghfirullah.
Apa yang dilakukan kakak memang sedikit membuatku kaget. Tidak mudah memang ketika menemui silang pendapat dengan orang tua apalagi jika kondisi hati dan jiwa tidak baik.
Satu hal yang selalu kuingat jika hal itu terjadi padaku adalah tentang kisah seorang sahabat yang bertanya kepada Rasulullah Saw., “Pekerjaan manakah yang paling utama?” Beliau menjawab, “Sholat pada waktunya.” Ditanya lagi, “Kemudian apa?” Beliau menjawab, “Berbakti kepada kedua orang tua.” Ditanya lagi, “Kemudian apa?” Beliau menjawab, “Berjuang di jalan Allah.” (HR. Muslim)
Berbakti kepada orang tua memiliki kedudukan lebih tinggi daripada berjihad. Padahal kita tahu, berjihad adalah sesuatu yang sungguh mulia dan dambaan seorang mukmin untuk bisa mati syahid. Ternyata, berbakti kepada orang tua lebih mulia dari itu, lalu perintah yang mana lagi yang harus kuturuti jika bukan perintah Allah dan Rasul-Nya.
Kita tidak pernah tahu berapa banyak lagi jumlah detik hidup mereka yang tersisa. Setiap kali hati ini marah atau sakit karena beliau, selalu kuingat pula perjuangan dan penderitaan yang telah beliau lalui selama detik hidupnya yang kini mungkin tak banyak lagi. Sudah cukup mereka dulu berpayah-payah berjuang hidup, biarlah di sisa umurnya kini beliau bahagia dengan bakti anaknya. Mungkin tak lama dan kita tak akan pernah tahu seberapa panjang umur seseorang termasuk diri kita. Masihkah banyak detik hidup kita untuk memberikan bakti kepada orang tua atau kah kecewa di akhirlah yang akan kita peroleh.
Selamat hari ibu…
Engkau memanggilku ‘nak’ saja sudah merupakan keberuntungan bagiku bu…
Yang tak akan habis kubayar sampai aku mati….Love you!
Wallahu a’lam bish showab. (Gresia Divi)