Selalu menarik saat membahas pernikahan. Pasalnya, menikah adalah terminal peralihan antara kelahiran dan kematian seseorang. Pernikahan menjadi terminal baru yang memiliki dua makna nan berkebalikan: bahagia atau sengsara.
Perbincangan itu semakin seru saat memasukkan unsur poligami di dalamnya. Baik yang pro, kontra maupun pertengahan di antara keduanya. Polemik perbincangan terkait poligami biasanya disebabkan oleh sikap ekstrem (baik mendukung ataupun menolak) yang amat dipengaruhi oleh dua hal: tidak tahu atau sok tahu.
Sebenrnya, jika membahas poligami, maka arah utamanya adalah bagaimana awalnya disyariatkannya. Bahwa perintah untuk melakukan amalan itu langsung termaktub dalam al-Qur’an dan telah dipraktikkan langsung oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.
Poligami, identik dengan laki-laki sebagai ‘tersangka’ dan perempuan yang selalu dianggap menjadi ‘korban’. Padahal, tak semudah itu untuk menyematkan dua predikat tersebut kepada pelaku poligami.
Bagi laki-laki, ‘modus’ poligami bisa benar-benar niat yang tulus dengan kesadaran yang penuh bahwa ia mampu dan Allah Ta’ala akan menolong niat baiknya, tak jarang pula modus itu dibumbui hal-hal remeh, penuh muatan nafsu belaka, dan pelakunya tak miliki ilmu maupun kapasitas lainnya.
Jika poligami dilakukan serampangan oleh oknum kedua ini, maka dampaknya adalah kerusakan yang akibatnya menjalar ke berbagai lini kehidupan. Akibat fatalnya, karena ulah oknum ini, poligami yang merupakan sunna Nabi dicap sebagai sesuatu yang menakutkan.
Bagi perempuan, penerimaannya terkait mau dipoligami atau tidak sering dikaitkan dengan penerimaan atau penolaknnya terhadap syariat Allah Ta’ala dan Sun ah Nabi sebagai dasar kaum muslimin dalam melakukan ibadah ini.
Padahal, dalam taraf ini, poligami bukan sekadar itu, tapi ada faktor mampu atau tidaknya seorang perempuan dalam melaksanakannya.
Faktanya, banyak yang menerima syariat poligami, tapi enggan, malas, atau tidak mampu ketika ia dipoligami dengan alasan-alasannya.
Sebenarnya, sebagaimana syariat yang lain, masing-masing kita diberikan akal untuk mempertimbangkan apakah kita mampu atau tidak dalam mengamalkannya. Bahkan, banyak ibadah yang memang wajib, kemudian seseorang tak mampu, maka Allah Ta’ala pun memberikan keringanan padanya.
Namun, satu yang menjadi catatan, adalah ketika penolakan untuk dipoligami dasarnya berupa keinginan yang sama sekali tidak syar’i dan bertentangan dengan fakta.
Misalnya seorang muslimah yang menyadari betul bahwa jumlah wanita tiga kali lebih banyak dari jumlah laki-laki, tapi ia menolak poligami secara ekstrem hanya karena anggapan harus menjadi istri pertama dan satu-satunya, sementara ia juga menginginkan agar semua wanita merasakan ibadah menikah sebagaimana dirinya, dan ia juga menyadari bahwa banyak laki-laki shaleh yang mampu berlaku adil.
Tapi, adakah zaman sekarang yang benar-benar shaleh dan terjamin keadilannya saat menambah istri?
Apa pun itu, hendaknya kita hanya melakukan atau meninggalkan sesuatu karena Allah, bukan lantaran pertimbangan nafsu dan akal semata. [Pirman]