Menjaga idealisme itu lebih berat dari menjaga harta. Ia tak ubahnya seperti menjaga harga diri.
Bagi muslimah, bentuknya bisa bermacam rupa, dengan banyak sebab tentunya. Bermula dari usia SMA yang mulai simpatik dengan dakwah, lanjut kuliah dan semakin kenal serta dekat dengan dakwah, hingga dirinya tercelup dengan niai-nilai dakwah; yang salah bentuknya adalah apa yang ia kenakan.
Ini menakjubkan sekaligus membuat haru. Sosok yang waktu SMA biasa-biasa saja, atau misalnya malah tomboy, lepas lulus dua tahun, ketemu karena urusan yang penting dan dibolehkan, kemudian dirinya berubah menjadi sosok yang istimewa: rok yang anggun menjuntai menyentuh tanah, kaos kaki rapi membalut ujung kaki, baju dan kerudung panjang yang longgar penutup dada, dan caranya yang unik menghindari pandangan langsung.
Ya, menunduknya perempuan saat dipandang oleh lelaki lain adalah pesona amat mahal dan amat disukai oleh lelaki baik manapun.
Pertemuan selepas itu pun, bisa beragam bentuknya. Ketika di salah satu kubu ada yang simpatik, bahkan pada tahap berdoa semoga ia berjodoh dengan dirinya atau mendapatkan yang serupa dan lebih baik, maka di kubu sebelah pun ada yang sinis, bahkan picingkan matanya. Entah tuduhan teroris, sok alim, pura-pura, dan sebagainya.
Nah, di sini kelak terletak persimpangan. Sebabnya seperti awal tulisan ini: menjaga idealisme itu berat, tak ubahnya menjaga harga diri.
Sedihnya, jika pelecehan terhadap harga diri bentuknya fisik; mulai dari caci maki, hinaan, pelecehan fisik, pemerkosaan, dan sebagainya. Maka terhadap idealisme berlaku cara yang amat halus; ia menyerang ke dalam pikiran maupun relung hati.
Karenanya, ia yang kagum melihat metamorfosa sahabatnya tatkala pertemuan dua tahun selepas lulus SMA, akan berubah dalam pertemuan setahun berikutnya; ketika ia yang aktivis dakwah akan segera lulus dari kampus yang telah gigih mencetaknya menjadi muslimah tangguh.
Maka kini, silakan saksikan bagaimana penampilannya; pakaiannya mulai modus, roknya banyak motif, bajunya agak ketat, kerudungnya diperkecil dengan dalih kemajuan zaman dan tren. Sepatunya pun, yang mulanya biasa saja, mulai ada haknya, agak tinggi sehingga jalannya pun tak segesit dulu.
Tatkala anda melihatnya, pertama kali mungkin malu. Apalagi, wajahnya mulai disesaki aneka jenis bahan-bahan dari luar dirinya; ketebalan bedak, warna di pipi yang mencolok, lipstik aduhai merahnya, hingga alis yang mulai dimodifikasi.
Sebab itu pula, ia tak lagi menunduk saat bercakap-cakap dengan lawan jenis. Bahkan anda yang menunduk sebab malu melihatnya; itu pun jika anda masih sisakan idealisme yang dijaga. Jika tidak, innalillahi, anda pun akan ikut melihatnya tanpa ampun.
Selepas itu, bentuknya bisa semakin parah. Ia mulai berani keluar rumah dengan kenakan celana, kerudung semakin tipis, dan hiasan wajah yang sejatinya hanya layak untuk lelaki yang menjadi suaminya.
Namun, masih untung, jika ia senantiasa menjaga auratnya. Sebab dalam kasus lain, ada oknum yang berfoto dalam keadaan renang di pantai dengan pakaian yang tak pantas dikisahkan. Padahal, waktu SMP, dia adalah sosok yang amat teliti dalam berpakaian, anaknya Pak Haji pula.
Selayaknya, ini menjadi pelajaran berharga. Bahwa menjaga hidayah itu mahal. Amat mahal. Semoga Allah Ta’ala menjaga kita dari ketergelinciran. Aamiin.
3 Comments
Comments are closed.