Betapa beratnya ujian seorang suami saat istri yang amat dicintainya wafat. Betapa peliknya perasaan sang suami, ketika wanita yang telah menemaninya dalam perjuangan di setiap jenak itu dipanggil oleh Sang Pencipta.
Sedih, pasti. Gundah, apalagi. Khawatir, tentu saja. Menyesal, sudah tentu ada. Semua rasa itu hadir, bergumul menjadi satu hingga memenuhi seluruh perasaan, pikiran, dan tergambar jelas dalam jasad; pandangan, badan, laku.
Namun, di atas itu semua, ada satu hal yang harus disadari. Bahwa semua makhluk akan kembali kepada Penciptanya; semua yang hidup pasti alami mati; akan berhenti semua yang bernafas.
Karenanya, ada adab yang harus dijaga. Ada larangan yang tak boleh dilanggar, ada anjuran yang harus dikerjakan. Ketika istri yang amat kita sayangi itu berpulang kepada Allah Ta’ala, jangan lakukan hal ini, seberapa besar pun cinta kita kepadanya.
Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhi menuturkan kisah seorang di kalangan Bani Israil yang fakih, ahli ibadah, alim, dan suka berjihad. Sebagaimana dikutip Ibnul Qayyim al-Jauziyah dari al-Muwatha’ Imam Malik bin Anas, istri sang alim itu wafat.
Saking cintanya, ia amat berduka cita. Duka mendalam itulah yang membuatnya mengurung diri di sebuah rumah. Dikunci rapat-rapat pintunya, dan ia tak mau menemui atau ditemui siapa pun.
Maka datanglah seorang wanita yang hendak meminta fatwa kepadanya. Setelah menyampaikan hajatnya kepada orang dekat sang alim; bahwa tak ada yang bisa memberikan solusi kepadanya selain sang alim yang tengah berduka itu,ia pun diizinkan masuk.
“Aku ingin meminta fatwa darimu,” ungkap sang wanita lugas.
“Tentang perkara apa?” tanya sang alim.
“Aku meminjam perhiasan dari saudaraku. Kupakai dalam waktu yang lama. Tiba-tiba, dia menyuruh orang untuk meminta perhiasan itu,” lanjut sang wanita lontarkan tanya, “apakah aku harus mengembalikannya?”
“Tentu saja,” jawab sang alim.
“Tapi, demi Allah,” kilah sang wanita, “perhiasan itu sudah lama ada padaku.”
“Adalah haknya; maka kembalikanlah.” tegas sang ahli ibadah.
“Semoga Allah merahmatimu,” ungkap sang wanita. “Apakah engkau tidak mau mengembalikan apa yang Allah Ta’ala pinjamkan kepadamu; yang kini sudah diambil darimu; dan Dia lebih berhak darimu?”
Ujar Ibnul Qayyim menutup kisah ini, “Laki-laki itu pun tersadar akan kesalahannya selama ini. Allah Ta’ala telah memberikan manfaat dari kalimat wanita itu.”
Wahai para suami, ikhlaskanlah jika ujian itu menimpamu. Sebab Allah Ta’ala lebih mencintai hamba-hamba-Nya jauh melebihi sayangnya seorang ibu kepada anaknya. Maka, jangan sekali-kali larut dalam sedih yang berlebih. Sebab hal itu tidak memberikan manfaat kepada diri atau istrimu yang telah tiada. [Pirman]