Suami adalah pemimpin bagi diri, istri-istri, dan anak-anaknya. Kelak di akhirat, seorang suami akan dimintai pertanggungjawaban terkait amanah berat yang telah diambilnya itu. Apakah ia berhasil mendidik anak dan istri-istrinya hingga semakin dekat dengan Allah Ta’ala? Atau sebaliknya?
Maka menjadi suami adalah pilihan yang berat. Karenanya, harus dijalani dengan sebaik mungkin, sungguh-sungguh, berilmu dengan benar, dan komitmen untuk senantiasa menjalankan apa yang telah Allah Ta’ala perintahkan melalui al-Qur’an dan sunnah Nabi-Nya yang mulia.
Tugas utamanya adalah menjamin keselamatan seluruh anggota keluarganya; agar tak ada satu pun di antara mereka yang mencicipi atau dijebloskan ke dalam siksa neraka yang menyala apinya. Berat. Sungguh. Sebab menjamin diri sendiri saja tak mudah, apalagi menjamin orang lain?
Di antara jalan yang bisa ditempuh, adalah menghindari, menjauhi, dan membuang jauh-jauh maksiat dari dalam rumah yang menjadi madrasah pertama bagi anggota keluarganya. Seorang suami harus benar-benar peka terhadap jenis-jenis maksiat, kemudian menganulirnya tatkala mulai masuk ke dalam rumah, perlahan atau terang-terangan.
Maksiat adalah pangkal celaka. Inilah faktor utama yang menjadikan sebuah rumah gersang dari ketenangan, kekeringan keluarga dari makna cinta, juga kehambaran interaksi antara individu-individu yang bertemu dalam tiap jenak, setiap hari, di sepanjang usia kehidupan. Selain menjauhkan pelakunya dari Allah Ta’ala dan menabung dosa, maksiat juga bisa menjadi sumber utama keributan di dalam rumah tangga.
Maksiat bukan hanya terkait dosa besar selayak syirik, sihir, zina, dan sejenisnya; tetapi juga hal-hal yang nampak remeh berupa meninggalkan sunnah-sunnah keseharian yang dicontohkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.
Karena itu, bentuknya bisa berupa; seberapa bersegeranya anggota keluarga laki-laki dalam mendatangi masjid saat adzan berkumandang dan anggota keluarga wanita dalam mendirikan shalat tepat waktu sesaat setelah masuk waktunya?
Yang lainnya, misalnya, bagaimanakah yang terjadi di dalam keluarga dalam membiasakan sunnah salam, mendoakan yang bersin setelah memuji nama Allah Ta’ala, saling mengingatkan dan memotivasi dalam kebaikan, pun seberapa baik dan lembut antar masing-masing anggota kepada anggota keluarga lainnya.
Prosenya pun sangat panjang, selain jumlahnya yang amat melimpah. Karenanya, seorang suami harus memiliki komitmen untuk memulai dari dirinya sendiri, kemudian mengupayakan yang terbaik kepada keluarganya, dengan cara yang baik pula.
Dan, sembari menjalankan semua jenis ikhtiar-ikhtiar itu, yang terpenting adalah meminta kepada Allah Ta’ala. Sebab hanya dengan Pertolongan-Nyalah seorang suami dan keluarganya bisa menghindari dan jauh dari maksiat. [Pirman]