Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berlari dengan perasaan yang terguncang. Pelukan malaikat Jibril di Gua Hira sebanyak tiga kali membuat jiwanya berguncang. Antara takut, khawatir, dan gemuruh jiwanya bersatu; tak karuan. Maka di sepanjang perjalanan menurun dari gua yang dijadikannya sebagai tempat ‘uzlah itu, beliau terjatuh berkali-kali.
Sesampainya di rumah, tubuhnya menggigil. Tak karuan. Saat disambut oleh sang istri tercinta, Khadijah binti Khuwailid yang berjuluk al-Kubra, Nabi hanya berkata pendek-pendek, “Selimuti aku.” Berulang kali. Barang kali, maknanya adalah selimut kain, dan selimut tubuh-pelukan. Bukankah memang pelukan sang istri mampu tenangkan para suami yang gundah dan berguncang jiwanya?
Kepada istri tercintanya itu, Nabi bertutur. Dengan runut, beliau mengisahkan kejadian yang dialaminya. Lantas, sang istri yang menjadi penghulu para wanita surga ini menghibur seraya berkata lembut, “Bergembiralah. Demi Allah, Dia tak akan menghinakanmu selamanya.”
Sampai di sini, mari hentikan kisah yang amat masyhur ini. Sejenak saja, mari seksamai romantisme para mujahid di jalan Allah Ta’ala ini. Ialah sebuah ekspresi cinta paling tulus yang terjadi begitu saja, tanpa perencanaan, tak ada kebohongan atau kepura-puraan di dalamnya.
Para suami, sebagaimana amanah yang dibebankan di pundaknya sebagai pemimpin keluarga, banyak menghadapi ujian, godaan, cobaan, dan aneka tipu daya dalam mengupayakan nafkah di luar rumah. Persaingan bebas, godaan penglihatan dan hati dari lawan jenis, juga kombinasi-kombinasi melenakkan jiwa lainnya.
Maka, saat sampai di rumah istrinya, para suami tentulah membutuhkan suasana yang segar, cerah, ceria, sumringah, dan bahagia. Ia, para suami itu, tentu mengharapkan pemandangan, pendengaran, dan perasaan yang menyejukkan, menenangkan, dan menentramkan jiwanya. Ia, tentu saja, amat mengharapkan suasana yang damai, teratur, dan penuh kebaikan, meski sederhana bentuknya.
Karenanya, kepada para istri, perhatikanlah hal ini baik-baik. Niatkanlah meneladani bunda Khadijah, meski suamimu jauh kelasnya dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Upayakan penyambutan terbaik sebagaimana kesejukan dan penerimaan tulus yang diberikan oleh Bunda Khadijah kepada suami terbaik sepanjang masa itu.
Tak perlu repot, tak usah ribet, apalagi berpikir rumit. Sebab, persembahan cinta justru akan sangat berkesan jika disampaikan dengan tulus, meski bentuknya amat sederhana.
Misalnya, sesaat setelah mengecup tangan dan pipi suamimu di rahang pintu, dan kausaksikan betapa rumitnya masalah yang disertakannya di sepanjang jalan hingga rumahmu itu, cobalah bisikkan kalimat sederhana yang telah kaulumuri ketulusan dari hatimu, “Mas, aku merindukanmu. Makan sudah siap, air hangat untuk mandi sudah tersedia.” Lalu, berhentilah sejenak sembari lemparkan senyum ‘nakal’ dan gelayut manja di tangannya, “Dan, kamar sudah wangi.”
Setelahnya, biarkan pikirannya berkelana. Dan, saat kautangkap maksudnya melalui sorot mata, katakan penuh kerelaan, “Mas tinggal pilih yang mana di antara tiga hal itu.” [Pirman/Keluargacinta]
1 Comment
Comments are closed.