Pemuda ini masih duduk dengan sesekali membenarkan posisinya. Perasaannya galau. Hasrat menikah mendesak-desaknya di ujung labirin. Bagai tak ada jalan lain, sebab puasa juga sudah dibiasakannya, nampaknya menikah adalah satu-satunya jalan yang kudu ditempuh untuk menyelamatkannya dari lubang hina bernama zina.
Masalahnya, pemuda ini tak punya modal. Sehari-hari hanya bekerja di pabrik kecil di sebuah kota dengan upah bulanan di bawah upah minimum kota itu. Jangankan untuk menabung, buat menambal kebutuhan sehari-hari dan suplai bagi adiknya yang masih sekolah saja, susahnya bukan main.
Beruntung, ia masih memiliki iman. Godaan masa lalu yang pernah menyicipi zina memang kerap kali menyapa. Apalagi teman-teman jahiliyahnya sering menarik-paksa dirinya untuk kembali bergelimang dalam tontonan nan menjijikan. Lagi-lagi, ia beruntung. Sebab sudah setahun terakhir, Allah Ta’ala mengantarkannya ke sebuah majlis ilmu dengan pola pertemuan sepekan sekali. Halaqah namanya.
Selain tak punya uang, pemuda ini juga belum mendapatkan izin dari kakaknya yang belum menikah. Ketika sosok yang diajak konsultasi menanyakan kepastian waktu yang dijanjikan oleh kakaknya, rupanya sang kakak menggeleng. Tak punya konsep. Alhasil, ia terombang-ambing pada ketidakjelasan. Intinya, sang kakak enggan dilangkahi. Jika hendak lebih dulu menikah, ridhanya tak akan pernah didapat seumur hidup. Duh, ngerinya.
Kemudian, perbincangan malam itu datar-datar saja. Sosok yang diajak konsultasi hanya mendengarkan dengan seksama, kemudian sesekali memberikan saran ala kadarnya untuk menenangkan galau sang pemuda.
Masa berlalu. Diam-diam, sang pemuda naksir dengan salah satu teman kampusnya. Sesama aktivis. Persis hari-hari itu, sang pemuda jarang sekali tertingal shalat Tahajjud, Subuh senantiasa awal waktu berjamaah di masjid, bacaan al-Qur’an ditingkatkan, dan semakin semangat menghafal al-Qur’an.
Kemudian pada suatu siang, ia berpamit. Hendak pulang kampung. Dia hanya berkata lirih, “Doakan. Saya hendak merayu kakak saya agar izinkan menikah. Saya juga akan meminta pertimbangan ibu tentang akhwat ini.”
Dua atau tiga hari di kampung, ia kembali dengan wajah sumringah. Sangat bahagia. Kabarnya, dua misinya berhasil. Sang kakak berikan izin lantaran melihat kesungguhan niat adiknya, sang ibu juga berikan persetujuan, meski katanya si calon kurang cantik.
Kemudian, masalah pertama masih ada; tidak ada uang. Tapi, nampaknya hal itu tidak jadi masalah. Dengan semangat membaja, ia pun menghubungi banyak saudaranya, sekadar meminta izin lantaran niat menikah beberapa hari setelah Idul Fithri tahun itu.
Singkat cerita, saudara dan keluarganya bersepakat berikan dukungan penuh. Dan, tahun itu, pemuda ini benar-benar ‘nekat’ menikah. Dengan sederhana. Bahkan, jika pun tak miliki apa pun, sang wanita mau menerimanya dengan mahar bacaan al-Qur’an. Tapi lagi-lagi, harta bukanlah kendala utama. Sebab, Allah Ta’ala Mahakaya dan pasti membantu siapa yang berniat menjalankan ibadah.
Kini, pemuda itu hidup bersama satu istri dan satu anaknya. Sudah miliki usaha kecil-kecilan. Sang istri tetap mengajar, dan ia kembali diminta untuk bekerja di perusahaan tempatnya bekerja yang dulu.
Kami menjadi saksi, betapa pemuda itu benar-benar nekat saat menikah. Ia hanya berpikir bagaimana menyelamatkan diri dari zina dan berupaya secara sungguh-sungguh untuk mengupayakan nafkah bagi istri dan anaknya kelak. Maka, Allah Ta’ala membalas tunai kesungguhan niatnya. [Pirman]
14 Comments
Comments are closed.