Sore itu, kami kedatangan tamu. Seorang suami-istri muda. Umurnya masih di kisaran angka dua puluh lima tahun. Baru memiliki satu anak, laki-laki. Sang suami bertanya tepat di depan pintu sambil menggendong anaknya, “Gimana hukumnya menggugat cerai dengan alasan tak ada cinta?”
Mendapati tanya yang tak mudah, kami diam sejenak. Kemudian menyampaikan beberapa kisah di zaman Nabi yang terkait dengan hal ini.
Bahwa gugatan cerai oleh seorang sahabiyah pernah terjadi di zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Sebabnya, sang suami berperawakan tak biasanya. Gampangnya, fisik sahabat Nabi itu terlampau jelek. Namun, sang istri menyampaikan gugatan bukan lantaran fisik. Tapi, “Saya tidak mau membenci sahabatmu (Nabi), padahal ia adalah orang mulia yang harus dicintai dan didoakan.”
Jumhur ulama pun bersepakat, bahwa ajukan gugatan cerai hanya dibolehkan dengan alasan yang syar’i, bukan sekadar masalah perasaan. Kerangka besarnya, jika suaminya itu semakin menjauhkan sang istri dari Allah Ta’ala, dan dalam waktu yang sama ia melalaikan kewajibannya sebagai seorang suami, maka sang istri dibolehkan sampaikan gugatannya.
Dari pihak suami, rupanya persoalan ini pun kerap terjadi. Hanya lantaran kehilangan cinta kepada sang istri, serta merta dirinya membuka jalan cerai sebagai sebuah solusi. Hanya lantaran menemukan cinta masa lalunya, sang suami mengumpulkan sekian banyak keburukan istrinya, kemudian membuat banyak dalih agar niat cerainya berjalan mulus.
Sebaiknya, suami atau istri yang membuka jalan cerai sebagai solusi hanya karena alasan hilangnya cinta di antara keduanya, cobalah buka buku-buku sejarah yang menjelaskan kehidupan pernikahan para Nabi dan sahabat-sahabatnya.
Di antaranya, ketika ada seorang lelaki berpikir untuk menceraikan istrinya hanya karena kehilangan cinta dihadapkan kepada ‘Umar bin Khaththab, sahabat Nabi yang sekaligus mertuanya ini berkata, “Celakalah kamu! Bukankah rumah itu kamu bina atas dasar cinta? Maka, di manakah perlindungan?”
‘Umar, dalam perkataannya itu, selain mengancam juga mengingatkan. Bahwa rumah tangga yang telah dijalin selama ini, adalah satu di antara sekian banyaknya bukti cinta antara keduanya. Karenanya, ingatlah masa-masa madu di awal tumbuhnya cinta, senantiasalah berprasangka baik kepada pasangan, cari dan daftarlah kebaikan-kebaikan wanita yang kini menjadi istri dan ibu dari anak-anakmu itu.
Pasalnya, jika pun menempuh jalan cerai lantaran melihat wanita lain yang lebih memesona, akankah kecintaan bertahan lama kepada wanita kedua? Bukankah cinta itu bisa serta merta hilang sebagimana hilangnya cinta kepada istrinya yang sekarang?
Semoga Allah Ta’ala berkahi pernikahan kita. Semoga Allah Ta’ala melindungi keluarga kita dari godaan setan yang terkutuk. [Pirman]
1 Comment
Comments are closed.