Menikah adalah sunnah Nabi. Siapa menjalankannya karena Allah Ta’ala, baginya pahala yang agung. Siapa menempuh terjalnya hidup berumah tangga dengan niat hindarkan diri dari ketergelinciran nafsu, baginya keutamaan menjaga kesucian diri agar sesuai fitrah.
Idealnya, setelah seorang memasuki kriteria ba’ah (mampu), maka ia dianjurkan untuk bersegera menikah. Sayangnya, kondisi tersebut tak semudah membalikkan telapak tangan. Begitu banyak ujian yang menghampiri seorang pemuda ketika hendak menikah. Di antara bentuk rintangan itu, ada seorang pemuda yang sangat ingin menikah, tetapi tak kunjung mampu.
Nabi menganjurkan, jika seorang pemuda belum mampu menikah, maka puasalah. Persoalannya, pemuda yang kebelet nikah ini, sudah berpuasa. Tetapi, keinginannya tetap tinggi. Sementara kondisinya benar-benar belum memungkinkan untuk menikah. Lalu, apa solusi yang harus diambil?
Idealnya memang memberanikan diri untuk menikah. Tetapi, ada satu solusi dari Imam al-Ghazali yang bisa dipraktikkan.
“Jika melihat seorang pemuda yang amat merindukan pernikahan, sedangkan dirinya tak memiliki kemampuan yang cukup terkait materi (atau hal lain yang benar-benar menghalanginya untuk menikah), sementara nafsu biologisnya tidak berhasil diredakannya dengan hanya berpuasa,” demikian itu yang disampaikan oleh Hujjatul Islam yang menulis Ihya’ ‘Ulumuddin ini.
Maka, solusi yang beliau tawarkan adalah, “Sebaiknya, kita perintahkan kepadanya untuk sehari berbuka dengan air, tanpa roti. Malam berikutnya, perintahkan kepadanya untuk berbuka dengan roti, tanpa air. Ia juga harus dilarang dari makan daging sedikit pun serta lauk pauk lainnya.”
Dengan menempuh jalan itu, lanjut beliau, “Hal itulah yang bisa menjinakkan nafsunya, dan mematahkan syahwatnya terhadap makanan.” Terkait cara yang terbilang ekstrem ini, beliau menjelaskan, “Sebab, tiada pengobatan pada awal keinginan untuk mengobati hati yang lebih bermanfaat daripada rasa lapar.”
Apa yang beliau sampaikan, tak harus diikuti. Sebab, yang wajib diteladani adalah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Tetapi, jika berniat karena Allah Ta’ala untuk menaati anjuran seorang ulama, selama tidak melanggar syariat Islam, maka hal itu dibolehkan.
Karenanya, pandai-pandailah melihat kondisi diri. Jika mampu, lakukan upaya pengekangan hawa nafsu sedisiplin itu hingga benar-benar siap menikah. Atau, yang paling memungkinkan; bulatkan niat menikah karena Allah Ta’ala, mintalah pertolongan kepada-Nya agar dimampukan, dan menikahlah dengan keyakinan amat penuh bahwa Allah Ta’ala tidak akan menelantarkan hamba-hamba yang menjalankan ibadah kepada-Nya.
Jadi, pilih berani menikah, atau mengikuti saran Imam al-Ghazali? [Pirman/Keluargacinta]
5 Comments
Comments are closed.