Pernikahan

Adakah yang Mau Menikah Denganku?

Ada banyak alasan mengapa seseorang tak kunjung menikah. Bagi seorang lelaki, di antara alasan yang membuatnya enggan ajukan diri untuk melamar adalah persoalan fisik.

Meski memiliki anggota tubuh yang lengkap, seorang lelaki bisa urung ajukan diri sebab merasa tak tampan; pendek, gemuk, hitam, rambut ikal, bicara tak lancar; dan semua hal itu bersatu dalam dirinya.

Padahal, menikah lebih dari sekadar fisik. Ada hal lain yang lebih patut diupayakan sehingga seseorang layak menikah, atas Kehendak Allah Ta’ala tentunya.

Sahabat Nabi yang satu ini, digambarkan oleh Salim A. Fillah dalam Lapis-Lapis Keberkahan sebagai sosok yang, “Wajahnya yang jelek terkesan sangar. Pendek. Bungkuk. Hitam. Fakir. Kainnya usang. Pakaiannya lusuh. Kakinya pecah-pecah tak beralas. Tak ada rumah untuk berteduh.”

Adakah di antara kita yang tak lebih baik kondisi fisiknya dari sahabat ini? Kelak, sahabat yang tak elok dalam kaca mata manusia umumnya, akhir hayatnya membuat kita iri sebab dikatakan oleh Nabi, “Dia adalah bagianku. Aku adalah bagian darinya.”

Mari sejenak amati kisah pernikahannya. Agar anda yang merasa tak tampan bisa lebih optimis. Sebab, sekali lagi, menikah bukan sekadar alasan fisik.

Tanya Nabi setelah menyapa nama sahabat ini, “Tidakkah engkau menikah?”

Mari simak jawaban sahabat ini, “Siapakah orangnya yang mau menikahkan putrinya dengan diriku, wahai Rasulullah?”

Jawaban yang terlontar bukanlah jawaban penyesalan. Bahkan ia menyampaikannya dengan tetap tersenyum sebagai wujud syukurnya kepada Allah Ta’ala atas karunia fisik yang dikurniakan padanya.

Pada hari berikutnya, hingga berlalulah tiga hari, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mendapati jawaban yang sama saat beliau tanyakan soalan serupa.

Karenanya, pada hari ketiga, beliau menggamit lengan sahabatnya itu dan membawanya ke sebuah rumah milik sahabat Anshar.

“Wahai saudaraku,” ujar sang Nabi, “aku ingin menikahi putrimu.” Belum tunai ucapan Rasul, tuan rumah yang juga wali sang gadis sudah merasa bahagia dan amat tersanjung.

“Tapi,” lanjut Nabi, “bukan denganku.”

Tuan rumah pun menjawab, “Lantas, dengan siapa ya Rasulullah.”

Jawab sang Nabi, “Dengan sahabatku, Julaibib.”

Mendengar nama yang disebut, ia yang sedianya sumringah pun agak menundukkan wajah. Kemudian berkata penuh tunduk kepada Nabi, “Izinkan aku bermusyawarah dengan istriku.”

Di dalam kamar, keduanya berdebat agak lama. Kesimpulannya, tak ada izin bagi sang putri sebab mempelai lelakinya adalah Julaibib yang sama sekali tak diperhitungkan.

Namun, dari balik tirai, sang putri bertanya tegas, “Apakah kalian hendak menolak permintaan Rasulullah?” Lanjutnya tanpa ragu, “Demi Allah, bawa aku padanya.”

Masya Allah… Itulah wanita idaman. Itulah sosok shalihah yang harapannya surga. Itulah teladan yang tak pandang wajah, tapi terpesona dengan iman.

“Demi Allah,” lanjutnya kepada kedua orang tua seraya meyakinkan dirinya, “karena Rasulullahlah yang meminta,” pungkasnya amat yakin, “maka tiada akan dia membawa kehancuran dan kerugian bagiku.”

Memang, keduanya tak lama bersama di dunia. Sebab Julaibib lebih dikehendaki oleh bidadari di langit. Ia syahid. Dan istrinya menjadi sosok yang kedermawanannya sulit tertandingi.

Memang benar jika Nabi sudah tidak ada. Tapi bagi anda yang minder sebab tampilan fisik, maka teladanilah Julaibib dalam keshalehannya. Sebab, ia adalah sosok yang terdepan dalam shalat dan jihad di jalan Allah Ta’ala. [Pirman]