Pertama, anak-anak dijadikan penyejuk pandangan (jiwa) bagi orang tuanya. Inilah kebahagiaan sejati di dunia dan jaminan keselamatan di akhirat kelak (Baca: Anak-anak Penyejuk Jiwa). Kedua, anak-anak hanya menjadi hiasan dunia bagi orang tuanya. Bisa pandai, rupawan, atau kelebihan duniawi lainnya. Tapi, ianya tak kuasa menyelamatkan diri dan orang tuanya di akhirat kelak (Baca: Anak Tiada Guna, Hanya Hiasan Dunia).
Selanjutnya, anak-anak yang menjadi fitnah bagi kedua orang tuanya. Fitnah ialah ujian yang bisa menyelamatkan atau menjerumuskan. Seorang anak sebagai fitnah memiliki potensi mengangkat derajat orang tuanya, atau menenggelamkan keduanya di dasar lembah neraka dengan segala siksanya.
“Dan ketahuilah,” Firman Allah Ta’ala dalam surat al-Anfal [8] ayat 28, “sesungguhnya harta dan anak-anakmu adalah ujian dan sesungguhnya di sisi Allahlah pahala yang besar.”
Saat menafsirkan ayat ini, Sayyid Quthb mengatakan di dalam Zhilal al-Qur’an, “Ambisi terhadap harta dan anak merupakan titik kelemahan paling dalam bagi manusia. Dia (Allah) mengingatkan hakikat pemberian harta dan anak-anak itu.”
“Allah,” lanjut Quthb menafsirkan, “memberikan harta dan anak-anak kepada manusia untuk menguji dan memberi cobaan kepada manusia dengan keduanya.”
Ada begitu banyak manusia yang tidak lolos saat diuji dengan ketiadaan harta. Mereka menjadi orang miskin yang tidak bersyukur atau sosok fakir yang malas bekerja. Padahal, syukur adalah pangkal kebaikan dan kunci ditambahkannya nikmat. Sedangkan bekerja menjadi salah satu keutamaan orang beriman dan sarana dihapuskannya dosa jika diniatkan untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarga agar tidak menjadi generasi yang lemah dan peminta-minta.
Sebaliknya, ada banyak manusia yang tak mampu ketika diuji dengan kemelimpahan harta. Mereka enggan dan menolak memberikan zakat, membenci berbagi dengan sesama melalui infaq, sedekah, dan hadiah, dan memiliki kecenderungan menumpuknya hingga ajal menjemput. Dalihnya, mereka mengumpulkan harta itu dengan susah payah atas kemampuan yang mereka miliki.
Pun dengan anak-anak yang dikaruniakan kepadanya. Mereka menjadi cobaan bagi orang tuanya ketika tidak diberi pendidikan soal akidah dan kehidupan yang hakiki di akhirat kelak. Akhirnya, anak-anak itu tumbuh dengan fisik yang membanggakan, tapi amat mengkhawatirkan kualitas akhlak dan agamanya.
Anak-anak juga berpotensi menjadi ujian yang mengantarkan kepada keburuka ketika semua inginnya diikuti. Bahkan, orang tua tidak segan-segan menggadaikan kehormatannya dengan memakan harta yang haram demi menuruti keinginan nafsu anak-anaknya.
Bukankah ada begitu banyak orang tua yang melakukan korupsi dan mengupayakan harta haram dengan dalih menyayangi anaknya? Wallahu a’lam. [Pirman/Keluargacinta]