Beberapa bulan yang lalu, seorang wanita beranak usia paruh baya mendatangi seorang konselor. Rumah tangganya tengah mengalami prahara. Dahsyat. Ibarat kapal, rumah tangganya itu sudah pecah berkali-kali, rusak berkeping-keping. Sukar diselamatkan.
Berdasarkan penuturannya, suaminya bersikap zalim. Ia, sebagai istri, hanya disayang saat ada uang, dan serta merta ‘ditendang’ saat uang tiada. Memang, si istri ini bekerja dan sudah menjadi pegawai negeri sipil.
Selain itu, kezaliman suami semakin menjadi-jadi. Main tangan. Kasar. Memukul. Menampar. Menendang. Dan tindakan fisik lainnya yang diawali, dihiasi, dan diakhiri dengan caci maki. “Sakit,” tutur wanita ini bernada sedih. “Saya,” lanjutnya, “sudah tidak kuat menahan ini!”
Kala itu, si istri yang tadinya tinggal satu rumah dengan laki-laki yang menjadi suaminya itu sudah diusir. Padahal, lanjut wanita berbadan subur ini, “Rumah itu dibangun atas kerja keras saya sebagai pegawai negeri sipil. Ada uang suami. Tapi tidak banyak.”
Beberapa saat kemudian, sang wanita kembali mendatangi konselor. Hanya ingin mengisahkan sebuah berita. Entah, ini baik atau buruk. Sebab, wanita itu pernah berkata, tindakan zalim suaminya bukan yang pertama. Berkali-kali dimaafkan, tapi kembali diulangi. Dan kabar yang disampaikan oleh si wanita adalah; rujuk.
“Saya masih mencintainya. Saya kembali. Meski dizalimi. Kasihan anak-anak.” demikian akunya.
Satu hal lain yang pernah disampaikan si wanita, suaminya telah melontarkan kata cerai. Sekali. Saat itu, si suami mengancam akan segera memutus akad suci yang dulu dia ucapkan di hadapan wali, saksi, penghulu, dan Allah Ta’ala.
Kini, si suami ini tergolek lemah di rumah sakit. Sakit akut. Organ dalam. Parah. Dan harus dipasang alat bantu di salah satu organ dalam vitalnya itu. Sedang memasuki daftar tunggu pemasangan di sebuah rumah sakit ternama Ibu Kota.
Dasar cinta wanita yang tulus, dasar hati wanita yang selembut salju, dasar ketulusan wanita yang sukar dicari bandingnya, ia memilih kembali untuk menjadi istri meski berkali-kali dizalimi.
Katanya dengan nada terbata, “Saya ikhlas merawat suami saya. Tidak ada lagi yang peduli. Keluarganya entah kemana. Saya ikhlas. Mohon doakan agar suami saya sembuh seperti sedia kala.”
Ya Allah… Sungguh, Engkaulah yang Maha Membolak-balikkan hati. Teguhkan hati kami dalam agama-Mu. Balikkan semua hati yang bengkok, lembutkan semua hati yang kasar. Jadikan kami suami shalih yang bisa menyelamatkan istri-istri, anak-anak, dan seluruh keluarga dari pedihnya siksa neraka, dan megajak mereka untuk memasuki surga. Secara berjamaah.
Wallahu a’lam. [Pirman/Keluargacinta]