Bahagia itu sederhana. Kitalah yang membuatnya menjadi rumit. Kitalah yang membuatnya menjadi sulit.
Simaklah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ini:
مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِى سِرْبِهِ مُعَافًى فِى جَسَدِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا
Barang siapa di antara kalian mendapatkan rasa aman di rumahnya, sehat badannya, dan memiliki makanan pokok pada hari itu, seakan-akan dunia telah terkumpul pada dirinya. (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah; hasan)
Lihatlah, betapa sederhana tiga syarat ini. Aman, sehat, punya makanan untuk hari ini. Itu sudah cukup untuk membuat kita bahagia. Seakan-akan memiliki semua nikmat dunia.
Rasulullah mengajarkan kita untuk mensyukuri nikmat hari ini. Tanpa perlu mengkhawatirkan ‘rezeki’ di masa depan.
Maka beliaulah sebaik-baik teladan. Tak pernah menyimpan harta di rumahnya. Bahkan saat mendapat ghanimah yang nilainya lebih dari 2T, hari itu juga habis beliau bagikan. Tak pernah lebih dari tiga hari untuk menyedekahkan semua harta yang datang.
Salman Al Farisi tiap hari membuat keranjang. Dengan modal 1 dirham, ia jual keranjang 3 dirham. 1 dirham untuk nafkah keluarga di hari itu, 1 dirham disedekahkan, 1 dirham untuk modal membuat keranjang berikutnya. Sahabat Nabi ini fokus mensyukuri hari itu, tanpa khawatir besok makan apa.
Tulisan ini tidak menuntut kita sezuhud Rasulullah dan sehebat Salman. Sebab yang menulis juga belum bisa melakukannya. Hanya mengingatkan, bahagia itu sederhana. Syukuri hari ini, jangan takut dengan rezeki di masa depan. Apalagi jika karena ketakutan itu, lantas mengharamkan segala cara untuk menumpuk harta. Na’udzubillah.
Tidak sedikit manusia yang hartanya cukup untuk membeli persediaan makanan beberapa tahun ke depan. Namun, ia tetap merasa kurang dan kurang. Hidupnya dihantui ketakutan terhadap masa depan. Ia tidak bahagia dengan kekayaan yang ada tetapi sibuk dengan kekhawatiran tentang hari tua dan nasib anak cucunya.
Baca juga: Gombalan untuk Istri
Tanpa peduli halal haram, ia terus menumpuk harta agar cukup untuk tujuh turunan. Aduhai, betapa meruginya. Di dunia tidak bahagia, di akhirat akan dimintai pertanggungjawaban atas segala perbuatannya. [Muchlisin BK/KeluargaCinta]