Dibutuhkan ilmu dalam menjalani kehidupan rumah tangga. Di dalamnya terdapat banyak hal-hal baru dan sama sekali tak terpikirkan. Maka keberadaan ilmu akan membuat kita-sebagai suami atau istri-mampu bersikap bijak. Dengan bersikap bijak itu, semua yang terjadi bisa saling menautkan hati dan membawa cinta keduanya kepada mahligai bahagia di dunia dan akhirat, insya Allah.
“Sesungguhnya jika suamiku pergi mencari kayu bakar, maka aku juga merasakan kepayahan yang dia rasakan demi mencari rezeki untuk kami.”
Ini adalah ucapan seorang istri yang suaminya bekerja sebagai pencari kayu bakar. Kisah ini terdapat dalam buku Diary Kehidupan Shahabiyah tulisan Dr. Thal’at Muhammad ‘Afifi Salim. Sang istri, demikian termaktub dalam kalimat pertamanya, turut merasakan kepayahan, kesukaran, dan terjalnya medan yang dihadapi oleh suaminya ketika mencari nafkah. Dan, itulah empati yang menguatkan dari seorang istri kepada suaminya. Luar biasa.
“Aku merasakan dahaga pegunungan hingga hampir membakar tenggorokanku.”
Empati itu berbentuk nyata, bukan sekadar pengakuan. Maka, sang istri yang baik akan senantiasa berupaya merasakan kepayahan perjuangan yang dirasakan imamnya. Karenanya, para istri itu sering bertanya; bagaimana pekerjaannya? Bagaimana sikap rekan-rekannya? Seperti apakah nuansa persaingannya? Dan lain sebagainya.
Yang paling penting, mereka memastikan bahwa yang dilakukan suaminya adalah pekerjaan yang baik, halal, dan membawa kepada keberkahan.
Kemudian, setelah memahami apa yang dialami oleh suami ketika mengupayakan nafkah, maka sang istri pun bergegas memberikan hiburan dan apa yang dibutuhkan oleh suaminya; untuk meredakan lelah dan payah yang dialaminya itu;
“Aku siapakan air dingin untuknya. Sehingga, apabila dia pulang, dia siap meminumnya.”
Sambutan yang hangat, menenteramkan, dan hadirkan sejuk nan menginspirasi. Air dalam ungkapan istri pencari kayu bakar itu adalah obat yang mujarab atas panas, dan dahaga yang dialami oleh sang suami. Maka, ia siapkan dengan baik. Sehingga, saat suaminya sampai di rumah, air itu sudah siap sebagai penawar dahaga.
“Aku bereskan perabot rumahku, dan aku siapkan makanan untuknya.”
Istri pun bergegas. Rapi-rapi. Ia tak mau suaminya melihat rumah yang berantakan. Maka, semuanya diletakkan sebagaimana mestinya. Sehingga, ketika suaminya lelah seharian mencari nafkah, ia akan mengalami nyaman sebab mendapati rumah yang bersih, asri, dan tertata rapi ketika tiba di rumahnya. [Pirman]
1 Comment
Comments are closed.