Senja merangkak menuju peraduannya. Siang tunai kerjakan tugas, mentari berpulang perlahan ke peraduan. Jalanan sesak. Semua berlomba untuk mendahului. Ingin sampai di rumah secepatnya. Tak peduli bahaya yang mengancam. Mereka kompak abaikan rambu dan peraturan. Di dalam keramaian jalanan itu, terdapatlah sepasang suami istri. Berboncengan syar’i di motornya. Terlihat akrab. Mesra.
Tatkala perjalanan melewati setengah tujuan, berkumandanglah panggilan cinta. Muadzin menyeru kaum Muslimin agar bergegas menemui Sang Pencipta. Mentari telah condong ke arah barat, tanda bahwa Ashar akan segera ditunaikan. Hampir dipastikan, semua yang berada di jalan sekitar masjid itu mendengar kumandang adzan. Meski sedikit yang benar-benar menghentikan laju kendaraan untuk rehat; menemui Sang Pencipta dalam munajat di ujung senja itu.
“Kita shalat dulu ya?” sang istri mulai menyampaikan saran kepada suami kesayangannya itu.
Yang menyetir hanya mengangguk. Sepakat.
Saat mengambil posisi menepi memasuki pelataran masjid, demi melihat kondisi masjid yang masih direnovasi sehingga tampak berantakan, sang suami menyampaikan usul, “Gimana kalau di masjid depan saja?” Ungkap sang suami menguatkan, “Masjidnya lebih besar. Lebih tertata. Insya Allah lebih nyaman untuk ibadah.”
***
Kisah ini, sering kita dapati. Adzan berkumandang. Ada ajakan untuk bersegera. Di waktu bersamaan, ada pula ajakan untuk menunda. Di sinilah, ujian keimanan yang amat nyata. Tapi, banyak di antara kita yang gagal.
Sekilas, argumen si suami logis; tunda sejenak, shalat di masjid lain yang lebih besar, nyaman, dan shalat pun bisa lebih khusyuk. Sementara, lanjut argumen yang sejatinya salah itu; jika shalat segera di masjid ini, kurang khusyuk lantaran lokasinya berantakan. Ibadah pun kurang sempurna.
Padahal, dalam kasus ini, bersegera dalam shalat tetaplah lebih baik. Bagaimana pun keadaannya. Apalagi jika niatnya tulus seraya mengharap ridha Allah Ta’ala. Sementara itu, jika menunda, kejadiannya bisa lebih pelik.
Mungkin, masjid yang lebih bagus dan nyaman itu, letaknya hanya beberapa ratus meter. Jika ditempuh dengan motor, waktu tempuhnya hanya beberapa menit. Tak lebih dari puluhan. Akan tetapi, kita benar-benar lupa. Bahwa maut bisa mendatangi lebih cepat dari masa yang kita tempuh untuk menuju masjid berikutnya. Bisa jadi, jatah hidup kita tinggal sembilan menit, tetapi jarak menuju masjid yang lebih nyaman itu, tepat sembilan setengah menit.
Dalam kelanjutan kisah sepasang suami istri di atas, rupanya sang suami salah ingat. Pikirnya, masjid yang lebih bagus hanya berjarak seratus meter. Padahal, jaraknya hampir satu kilometer. Maka beruntunglah sang suami yang mengikuti ajakan kebaikan istrinya itu dengan bersegera mendatangi shalat berjamaah saat keduanya tengah menempuh safar di sebuah senja. [Pirman/Keluargacinta]