Inspirasi

Belajar dari Anak-anak Kita

Anak-anak itu tulus. Hatinya bersih. Pikirannya jernih. Bebas dari segala jenis prasangka buruk. Amat mudah menerima kebaikan. Dan senantisa memberikan inspirasi segara bagi sesama maupun mereka yang lebih dewasa. Tak terkecuali bagi orang tuanya.

Si kembar, usianya belum genap lima belas tahun. Antara kakak dan adik, hanya selisih sekian detik. Sejak kelas empat sekolah dasar, keduanya telah memilih takdirnya untuk jauh dari kedua orang tua. Mereka memilih melanjutkan pendidikan di pesantren. Otomatis, selain jauh, waktu liburnya pun sangat jarang.

Kelar sekolah dasar, mereka melanjutkan sekolah menengah pertama. Mereka memilih untuk melanjutkan ke pesantren lain dengan jarak yang lebih jauh dari pesantrennya saat sekolah dasar. Tetapi begitulah ilmu. Pengalaman hidup telah mendewasakan mereka. Meskipun, lugu dan sifat anak-anaknya tak bisa ditutupi, apalagi dihilangkan.

Sebab memang, pendidikan pesantren mempertemukan mereka dengan banyak individu dari berbagai daerah di seluruh negeri. Belum lagi kebiasaan mereka yang berani pulang dan pergi tanpa dijemput dengan perjalanan bus yang melintasi dua provinsi. Sering membuat kami khawatir, tapi Allah-lah yang menjaga mereka.

Kemarin, kami berboncengan. Di perjalanan menjelang Zhuhur waktu Ibu Kota Jakarta, kami melihat salah satu temannya yang juga menempuh pendidikan di pesantren. Katanya, “Sebelum ke pesantren, dia nanya dulu ke Adik.”

Adik adalah panggilan kami untuknya. Kemudian, “Adik bilang begini, ‘Kamu mondok saja. Daripada di kampung sini. Temannya gitu-gitu doang.’” Pasalnya, di kampung ini banyak anak kecil yang tidak mendapatkan pendidikan yang layak, baik dari orang tua maupun sekitar. Budaya campur aduk, sehingga karakter anak pun tidak jelas. Malah lebih dekat kepada keburukan.

“Kalau kamu mondok,” lanjutnya bertutur kepada sahabatnya yang meminta pertimbangan kala itu, “kamu akan ketemu banyak orang dari banyak daerah.” Dengan demikian, “Pergaulanmu akan luas. Kalau misalnya suatu ketika merantau, belajar atau jalan-jalan, dan kamu kehabisan ongkos,” tuturnya sampaikan saran, “kamu bisa menghubungi teman pondokmu yang berasal dari daerah tersebut.”

Saya yang mendengarkan sambil menyetir motor, hanya tersenyum dan bersyukur atas salah satu hikmah yang Allah Ta’ala berikan kepada si Adik terkait makna silaturrahim.

Lain Adik, lain pula Kakak. Masih di hari yang sama, saat senja mulai menyapa, kami diundang oleh tetangga untuk tasyakuran menyambut bulan suci Ramadhan. Si Ibu penjual sayur tergopoh mengetuk pintu, “Mas, mohon kehadirannya ke rumah. Untuk pimpin doa. Saya adakan syukuran.”

Bersama si Kakak, kami beranjak. Tak lama. Hanya sekitar dua ratus meter. Dalam perjalanan singkat itu, si Kakak bertutur tanpa diminta, “Tadi Kakak berkunjung ke rumah guru Wushu. Cerita banyak. Sekalian kangen-kangenan.” Tuturnya diiringi seringai senyum yang lucu.

“Nah, guru Kakak bertanya, ‘Kayaknya lelah, ya?’” lanjutnya bersemangat.

“Terus,” ujar saya sampaikan tanya, “apa jawaban Kakak?”

“Kakak bilang gini, ‘Ya, lelah. Tapi kan ingat surga. Jadi terus bersemangat.’” Saat menyampaikan penuturannya itu, ekspresinya benar-benar seperti adanya, tak ada kesan yang dibuat-buat atau berpura-pura bijak.

Maka, saya kembali tersenyum, dan lantunkan doa dalam hati, “Ya Rabb, anugerahkanlah kepada kami anak-anak yang saleh. Aamiin .” [Pirman/Keluargacinta]