Sosok bernama lengkap Ahmad Mustofa Bisri yang kerap dipanggil Gus Mus amat akrab dalam pendengaran kaum Muslimin. Kiyai kharismatik yang merupakan salah satu sesepuh Nahdhatul Ulama’ ini merupakan dai yang aktif menyampaikan hikmah jenaka sarat makna, baik dalam bentuk tulisan, puisi, atau ceramah agama.
Dalam salah satu ceramahnya di daerah Banguntapan Yogyakarta, kiyai yang menetap di Rembang ini mengisahkan salah satu episode cintanya dengan sang istri. Sebuah kisah yang penuh hikmah dan layak diketahui oleh kaum Muslimin yang mendamba berkah dalam rumah tangga.
Gus Mus dinikahkan oleh ayahnya saat dia berada di Mesir untuk menimba ilmu. Sang istri ada di Indonesia. Karena kendala jarak itu, keduanya sering berkirim surat untuk berkenalan. Sosok Gus Mus yang piawai meramu kata serta-merta mampu membuat sang istri jatuh hati. Terpikat keromantisan Gus Mus.
Saat Gus Mus pulang ke tanah air dan hidup berdua, terjadilah sebuah episode persembahan cinta oleh sang istri. Kepada suaminya yang baru pulang dari Mesir, sang istri membuat sebuah masakan spesial. Opor ayam spesial.
Tidak tanggung-tanggung, sang istri menggunakan dua kelapa sebagai santan. Supaya kental. Supaya berkesan. Supaya rasanya berbekas di lidah sang pujaan hati.
Malangnya, ketika masakan disediakan, Gus Mus hanya mencicipi satu sendok makan. Sang istri meradang. Nangis tiada henti, lalu mengadu kepada ibu mertuanya, ibu kandung Kiyai Gus Mus.
“Bagaimana to Bu? Saya memarut dua kelapa sampai tangan saya luka, tapi hanya dicicipi satu sendok makan.” tutur sang istri kepada ibu mertuanya.
Ibu mertuanya hanya tersenyum. Lalu menyampaikan sebuah rahasia. Gus Mus, demikian dikisahkan oleh ibunya, tidak terlalu menyukai masakah bersantan kental. Anak laki-lakinya itu lebih suka sambal jeruk.
Keesokannya, sang istri mengikuti saran ibu mertuanya. Menyajjikan sambal jeruk spesial penuh cinta. Benar saja, meski hanya sambal jeruk, Gus Mus makan berkali-kali. Nasi sebakul hampir dihabiskan.
Apa hikmahnya?
Cintailah dengan cara orang yang dicintai, bukan dengan cara kita. Jalan yang harus dilalui adalah dengan mengenal secara baik. Hal ini penting, sebab mencintai dengan cara kita sangat mungkin menimbulkan kesalahan, sebab yang dicintai tidak menyukai cara kita mencintainya.
Gus Mus mengakhiri kisahnya ini dengan perenungan. Saat kita mengakui mencintai Allah Ta’ala, hendaklah melakukan perbuatan-perbuatan yang benar-benar Dia cintai, bukan dengan cara kita. Sebab banyak kejadian, seorang hamba merasa melakukan perbuatan atas nama cinta kepada Allah Ta’ala, tapi dia justru mengundang Murka-Nya.
Jadi, romantis juga butuh ilmu.
Wallahu a’lam. [Pirman/Keluargacinta]