Uncategorized

Rekomendasi Ulama bagi Pasutri yang Bosan Jima’

Salah satu sebab utama timbulnya kebosanan ialah kesamaan dalam waktu yang lama. Seorang anak akan mengalami bosan jika hidangan yang disajikan kepadanya hanya satu jenis makanan dalam waktu yang lama. Mereka juga akan mengalami bosan tatkala hanya diizinkan bermain dengan satu jenis mainan dalam kurun waktu yang lama secara terus menerus.

Rumah tangga pun begitu. Suami bisa merasa bosan dengan istrinya karena wanita itulah yang ditemui di semua tempat dalam waktu yang lama, berulang-ulang, terus menerus. Di kamar, ruang makan, ruang tamu, ruang, tengah, dapur, sampai keluar rumah selalu bersama dengan istrinya.

Pun dengan seorang istri yang merasa bosan dengan suaminya lantaran laki-laki itu selalu ada di sisinya. Selalu bersama dalam banyak kondisi dan acara. Mulai dari tidur, bangun, beraktivitas di rumah, sampai kegiatan di luar rumah selalu ditemani oleh suaminya.

Jima’ pun demikian. Amat mungkin timbul rasa bosan dalam diri istri atau suami, atau keduanya. Akan menjadi masalah jika kebosanan diarahkan pada hal yang tidak tepat dengan ‘jajan’ sembarangan atau berdalih menambah istri.

Pasalnya, kebosanan dalam jima’ merupakan masalah kecil yang asalnya karena kurangnya ilmu seorang suami, istri, atau keduanya.

Ketika kita mendeklarasikan diri sebagai Muslim, kebosanan dalam jima’ ini bukan masalah besar. Pasalnya, al-Qur’an al-Karim sudah merekomendasikan kiat jitu jika kita mengalami hal ini. Semakin lengkap ketika apa yang termaktub di dalam al-Qur’an ini dijelaskan oleh para ulama yang shalih.

“Istri-istrimu adalah tempat bercocok tanam bagimu. Maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.” (Qs. al-Baqarah [2]: 223)

Ayat ini merupakan dasar hukum dibolehkan bahkan dianjurkannya variasi dalam jima’. Ialah didatangi dari mana saja, dengan cara apa saja, asal tujuannya farji sang istri, bukan dubur.

Menjelaskan ayat ini, Imam an-Nawawi Rahimahullahu Ta’ala menuturkan, “Ayat tersebut menunjukkan dibolehkannya mendatangi wanita dari depan, belakang, dengan menindih, melalui sepasang tangan, atau tertelungkup. Adapun melalui dubur tidak diperbolehkan, karena itu bukan lokasi untuk ‘bercocok tanam.’”

Jadi, boleh dengan posisi apa saja. Asal tujuannya benar. Boleh dengan miring, duduk, berdiri, atau cara lainnya yang lebih Anda ketahui dan disepakati.

Wallahu a’lam. [Pirman/Keluargacinta]