Wanita ini bergegas menuju kota Makkah bersama suami dan banyak pasangan lainnya. Mereka yang sama profesinya ini hendak berkeliling kota suci itu untuk mencari anak susu. Sudah menjadi adat, menyusukan anak kepada wanita lain memiliki beberapa kelebihan; mengajarkan tata bahasa yang lebih santun, ‘mengasingkan’ anak menuju tempat yang lebih baik, dan banyak lagi hikmah lainnya.
Sesampainya di Makkah, sebab wanita ini hanya mengendarai tunggangan kecil yang tak mampu diajak berlari, ia ‘kehabisan’ rezeki. Semua anak orang kaya berhasil diadopsi oleh teman-temannya. Yang tersisa hanyalah beberapa anak yatim. Kepada anak-anak yatim ini, mereka seakan sepakat, “Apa yang bisa diharapkan dari ibunya? Apakah mereka mampu membayar kita dengan harga yang layak?”
Kelar berkeliling kota Makkah, wanita ini tak menjumpai anak susu lain, kecuali si yatim yang tak menarik bagi wanita-wanita dalam rombongan itu. Masalah semakin lengkap saat tunggangannya bertambah sakit, kambing yang dibawanya tak mengeluarkan susu untuk diminum, dan wanita-wanita sesukunya telah bersiap pulang.
Di tengah kecamuk persoalan itu, sang wanita berkata kepada suaminya, “Demi Allah, aku tidak akan pulang bersama teman-temanku kecuali setelah membawa anak yatim itu untuk kujadikan anak susu.”
Sebagaimana suami lain yang lebih mengedepankan logika di banding perasaan, sejatinya laki-laki itu bisa menukasi dengan ketus atas perkataan dan niat istrinya itu. Sayangnya, yang dilakukan justru kebalikannya. Katanya, “Lakukanlah, semoga Allah Ta’ala melimpahkan keberkahan kepada kita.”
Si yatim yang tak diminati ini pun diambil. Lalu, didekapnya dengan kasih sayang amat tulus, layaknya ibu kepada anak kandungnya. Ajaib! Luar biasa! Allahu Akbar! Wanita yang mulanya lemah itu, seketika setelah mendekap anak yatim, tenaganya berangsur pulih, bahkan semangatnya penuh kembali.
Kemudian, saat hari menjelang malam, ketika mereka bergegas menuju kediamannya, keajaiban lain muncul. Keledainya berangsur pulih dan berjalan amat cepat, kambing yang dibawanya menghasilkan susu yang amat melimpah. Saking cepatnya, keledai yang ditunggangi itu berhasil menyusul teman-teman si wanita yang telah terlebih dahulu melakukan perjalanan.
“Tunggu kami,” pinta seseorang di antara wanita dalam rombongan itu. “Apakah itu keledai yang kau jadikan tunggangan saat berangkat itu?” lanjut mereka memastikan.
“Benar,” jawab sang wanita yang dijawab langsung oleh teman-temannya itu, “Demi Allah, kami melihatnya amat berbeda dengan yang kemarin.”
Sebab mendapati kejadian-kejadian di luar nalar itu, sang suami pun berkata dengan kagum yang tak tergambar, “Demi Allah, kau telah mengambil anak yang penuh berkah ini.”
***
Bukan fiksi atau dongeng. Si wanita dalam kisah di atas adalah Halimah binti Harits as-Sa’diyyah yang menjadi ibu susu bagi anak yatim terbaik di muka bumi ini, Muhammad bin ‘Abdullah bin ‘Abdul Muthalib.
Di antara hikmah yang bisa kita petik, bahwa keberkahan dalam rumah tangga bisa jadi dimulai dari inisiatif sang istri. Tapi, ianya akan benar-benar mewujud saat mendapat dukungan penuh dari suaminya.
Dalam kisah ini, suami Halimah memiliki opsi menolak usul istrinya, dan istrinya wajib mematuhi jika suaminya sampaikan penolakan. Namun, atas izin Allah Ta’ala, sang suami pun memberikan dukungan kepada Halimah, meski yang dilakukan istrinya itu tidak wajar, bahkan berpeluang menuju kegagalan jika ukurannya adalah logika manusia semata.
Wahai para suami, perhatikan ini dengan baik. Jangan remehkan istrimu, apa pun tingkat pendidikan dan strata sosial keluarganya. Tundukan egomu, hargai saran wanita yang telah kau pilih dengan iman itu. Jika apa yang disarankan olehnya adalah kebaikan, meski tak logis dalam pandangan orang umum, jangan serta merta menolak sebelum melakukan konfirmasi. Apalagi jika kalian tidak memiliki alasan yang lebih baik untuk menolak usulnya itu. [Pirman/Keluargacinta]
2 Comments
Comments are closed.