Di sebagian masyarakat negeri ini, ada sekelompok orang yang melihat pernikahan secara tidak proporsional. Umumnya, mereka terbagi dalam dua kelompok besar. Pertama, kelompok yang menggampangkan pernikahan. Kedua, kelompok yang mempersulitnya.
Asalnya, menikah memang mudah. Ianya merupakan salah satu siklus hidup setelah seseorang memasuki masa dewasa. Dewasa bukan hanya soal usia, tetapi juga terkait kejiwaan dan ruhani. Menikah juga menjadi terminal penting yang dijalani oleh seorang individu setelah kelahiran, dan peristiwa sakral tak terlupakan sebelum seseorang menjemput kematian; pernikahan ada di tengah antara keduanya.
Jika dilihat dari sisi keislaman, maka menikah menjadi semakin mudah. Sebagaimana ibadah-ibadah lainnya, menikah tidak pernah disebutkan sebagai suatu amalan yang sukar sehingga banyak orang yang menjauhinya.
Bahkan, di banyak ayat al-Qur’an dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, perintah untuk menikah dihiasi dengan banyak kabar-kabar kenikmatan dan kebahagiaan yang dijanjikan. Bukankah janji Allah Ta’ala dan Nabi-Nya merupakan dua janji yang mustahil diingkari?
Karena itu, lahirnya dua kelompok keliru dalam melihat pernikahan ini berasal dari kekeliruannya dalam menafsirkan perintah menikah. Mereka terlalu menggampangkan pernikahan sehingga terjerumus dalam nikah, cerai, nikah lagi, cerai lagi, atau menjadi pengikut mempersulit nikah sehingga maju-mundur-maju lagi-mundur lagi ketika diajukan kepadanya seorang calon pendamping hidup.
Maka bersikaplah proporsional. Mudahkan pernikahan sebagaima ianya diperintahkan oleh Allah Ta’ala dan disunnahkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ikuti petunjuknya. Kerjakan arahan dan suruhan-suruhannya. Jangan selisihi. Sebab, tak ada panduan yang mengantarkan sebuah rumah tangga menuju bahagia dunia dan akhirat selain dari panduan Allah Ta’ala dan rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Akan tetapi, memudahkan bukan bermakna menggampangkan sehingga tidak mempersiapkan apa pun; persiapan ruhani berupa niat, ilmu terkait syariat, hukum-hukum terkait suami-istri, soalan manajemen, keuangan, dan seterusnya. Pelajari ilmunya, niscaya keberhasilan akan diraih.
Sebaliknya, jangan melihat menikah sebagai sesuatu yang sukar. Jangan pernah berpikir bahwa menikah baru bisa dilakukan setelah memiliki sekian puluh juta. Jangan pernah menganggap harus walimah semewah itu, di tempat-tempat khusus, dan anggapan salah lainnya.
Jika mampu, tak salah diupayakan. Tapi ingat, jangan sampai berlebihan. Sebab, akad itu murah. Walimah juga murah. Intinya hanya ada pada mengumumkan kepada masyarakat. Maka tak ada gunanya memperuslit diri. Yang terpenting, pahamilah satu hal; kalian lebih membutuhkan uang setelah menikah, bukan hanya saat walimah.
Begitu pula dengan soalan-soalan yang lain. Jangan dipersulit. Toh mempersiapkan rumah tangga agar menjadi sakinah, mawaddah, dan rahmah tidak berhenti setelah akad. Ianya baru dimulai setelah sah dan akan semakin menarik serta mudah diupayakan ketika sudah resmi menjadi suami istri. [Pirman/Keluargacinta]