Salah satu nasihat berharga dari Imam Ibnul Jauzi dalam Shaidul Khatir ialah terkait perbedaan jiwa dalam menerima nasihat. Tiap-tiap jiwa berbeda. Tiap-tiap jiwa unik. Satu solusi untuk suatu jiwa belum tentu aplikatif bagi jiwa lainnya.
Ada jiwa yang cukup sekali menerima nasihat. Ia langsung mengingatnya, bersungguh-sungguh menjalaninya, lalu berkomitmen dan istiqamah.
Kondisi pertama ini menyenangkan, tetapi tak mudah dijalani. Semua bisa menggapainya, tapi terapi dan riyadhahnya tak semudah menulis atau mengatakan. Penulis pun bukan berada dalam kondisi ini.
Ada pula jiwa yang harus diingatkan berkali-kali. Meski ingat, jiwa ini tak lekas menjalaninya. Harus ada cara lain yang betul-betul membekas sehingga nasihat itu lekas menjadi amal.
Ketika sudah menjadi amal pun, jiwa ini kerap lupa. Lalu ia kembali dalam kebiasaan tak baiknya. Saat diingatkan lagi, ia kembali bersemangat, berupaya menjalani. Tetapi kembali lagi pada kebiasaan lama.
Kondisi kedua ini banyak dialami kalangan kita, manusia biasa yang berjarak jauh dengan orang shalih. Tapi hendaknya bersungguh-sungguh agar diri lekas naik ke kondisi pertama.
Yang paling tidak diharapkan ialah mereka yang langsung menolak saat dinasihati. Ada penolakan dengan tindakan, ucapan, atau suara hati. Tiga-tiganya sangat berbahaya.
Penolakan bisa karena kepongahan, ketidaktahuan, atau hal lainnya. Yang jelas, banyak diantara kita yang berada di kondisi ini, meski kita tahu betapa buruknya perbuatan ini. Karena tak ada yang mendapatkan untung, kecuali setan sebagai pembisik utama kesombongan.
Meski Imam Ibnul Jauzi memberikan nasihat secara umum, tiga kondisi jiwa ini juga aplikatif dalam kehidupan rumah tangga antara suami, istri, anak-anak, dan anggota keluarga lainnya.
Sebagai imam dalam rumah tangga, kita harus mengetahui karakter para istri, anak-anak, dan siapa pun yang berada di rumah kita. Pun jika mereka orang tua kandung atau mertua.
Begitu pula para istri. Ia harus memetakan dengan baik sikap suami, anak-anak, atau siapa pun yang berada dalam jangkauan dakwahnya.
Beruntungnya sebagai Muslim, Islam memiliki banyak aturan yang bisa dioptimalkan untuk memaknai tiga kondisi jiwa ini. Dalam Islam, ada begitu banyak kegiatan yang bisa dijadikan sarana bagi kita untuk terus menerus mengingatkan pasangan/keluarga kita.
Shalat lima waktu, misalnya, adalah sarana yang sangat efektif bagi seorang istri untuk senantiasa mengingatkan suaminya, meski ia sudah terbiasa shalat berjamaah awal waktu, bersama imam, di masjid.
Hafalkanlah waktu shalat. Siapkan perlengkapan shalat yang biasa digunakan suamimu. Lalu mendekat dan berbisiklah ketika waktunya menjelang tiba.
“Mas, sebentar lagi adzan. Ini sarung, baju koko, peci, dan minyak wanginya.”
Atau gunakan bahasa dan cara lain yang biasa diamalkan. Karena setelah menikah, ekspresi cinta tanpa batas, kecuali yang memang dilarang agama.
Teruslah begitu. Teruslah menjadi yang pertama mengingatkan suamimu. Pun untuk ibadah sunnah seperti dhuha, tahajjud, rawatib, tilawah Al-Qur’an, atau lainnya.
“Mas, banyakin dzikir ya. Sebut nama Allah yang banyak, lalu sebut namaku di hatimu.” Misalnya.
Bayangkan jika untuk shalat wajib saja lima kali mengingatkan atau memberi nasihat dengan cara yang lembut dan santun, bukankah itu sarana yang sangat efektif sehingga cinta diantara kalian kian menebal dan berkualitas?
Begitu pula yang bisa dilakukan oleh seorang ibu kepada para anaknya.
Suami pun harus mengambil kesempatan ini dengan baik. Sesibuk apa pun pekerjaan dan aktivitas di luar, jangan lupakan istri saat senggang.
Saat coffe break di kantor, misalnya, sempatkanlah berkirim pesan. “Sayang, dari tadi aku selalu memikirkanmu. Apakah dikau sudah shalat dhuha 8 raka’at?”
Di siang hari sebelum atau usai makan siang, itu juga sarana yang sangat efisien untuk memupuk cinta diantara kalian dengan berkirim pesan menasihati atau mengingatkan.
“Dik, siang ini panas ya. Tapi mendadak adem saat mengirim pesan kepadamu. Siang ini sudah makan? Tadi Zhuhur pakai rawatib gak?”
Terus seperti itu. Tanpa batas. Pun jika kalian berdua di dalam rumah, dan anak-anak masih sekolah atau sudah tidur.
Saling mendekatlah dan jangan malu-malu untuk mengajaknya beribadah dalam semua maknanya. Jadi untuk menasihati, empat saja tak cukup. Harus berkali-kali. Harus sesering dan seefketif serta semenyenangkan mungkin. [Mbah Pirman/Keluargacinta]
2 Comments
Comments are closed.