Dua hari yang lalu, saya menyebar tulisan tentang seorang pemuda yang menikah di usia 21 tahun, pertama mengontrak di dekat kuburan, DO dari kampus favorit negeri ini, tapi kini pernah dihargai 20 juta saat mengisi materi seminar selama 3 jam. (Baca: Sekolah Bisnis)
Beberap saat setelah menyebar tulisan ke lebih dari sembilan puluh lima kontak WhatsApp, ada beberapa yang memberikan balasan. Meski sebagian besar hanya membaca, dan mudah-mudahan nge-klik tautan tulisan saya serta mendapatkan manfaat, beberapa di antara mereka menyempatkan mengucapkan terimakasih, hanya membalas dengan emoji jempol, atau menyampaikan beberapa hal terkait tulisan.
Di antara balasan yang paling menarik dan membuat saya kepo ialah seorang pengantin baru sekitar empat bulan yang mengirim balasan. Tulisnya datar tanpa ekspresi, “Bukannya setelah menikah kehidupan justru semakin kacau?”
Sebelum memberikan balasan lebih lanjut, saya memilih untuk berpikir secara umum. Betapa memang ada begitu banyak pasangan suami-istri yang jauh dari makna bahagia dalam pernikahannya. Meski mereka merencanakan dengan berbagai persiapan dan acara walimah yang tak murah, pernikahannya justru hancur berkeping-keping dan mengakhiri kisah cinta pada kata cerai.
Menikah memang misteri. Sebagian orang berpendapat bahwa menikah tak ubahnya perjudian. Tidak ada orang yang bisa menjamin seorang penjudi akan mendapatkan kemenangan atau kekalahan. Meski ungkapan ini tidak tepat sebab nikah merupakan ibadah nan mulia sedangkan judi termasuk keburukan yang dihukumi haram. Dosanya berlipat-lipat.
Saya lebih tertarik untuk melihat ‘kekacauan’ atau masalah yang rumit setelah menikah sebagai sebuah tantangan. Bukankah sebuah ibadah diganjari agung manakala ujiannya juga berat? Bukankah gaji besar hanya diberikan kepada seorang pekerja dengan amanah yang tak ringan? Begitu pun menikah; ujiannya berat karena pahalanya amatlah besar. Surga menanti bagi siapa yang lulus dalam ujian pernikahan.
Hendaknya juga melihat masalah setelah menikah sebagai bagian dari makna berkah. Bahwa berkah terletak pada sesuatu yang kita kehendaki dan upayakan serta pada yang tidak kita kehendaki tapi harus diterima sebagai konsekuensi penghambaan diri kepada Allah Ta’ala.
Bukankah Allah Ta’ala menegaskan dalam ayat-Nya; tidaklah seorang hamba dibiarkan berkata ‘Aku telah beriman’, kecuali pasti didatangkan kepadanya ujian?
Mudah-mudahan kita memahami; bahwa dalam nikah ada bahagia dan nikmat, di sana pula ada sedih, duka, dan air mata. Insya Allah surga menunggu bagi siapa yang sanggup menjalaninya dengan sabar dan taqwa.
Asal tahu saja, banyak yang menyesal kenapa terlambat menikah. Banyak pula yang sudah menikah dan ingin nambah lagi. 😀
Wallahu a’lam. [Pirman/Keluargacinta]