Inspirasi

Inikah Calon Mantu Idaman?

Betapa bahagianya seorang wanita yang mendapatkan suami idaman. Betapa bersyukurnya seorang ayah atau ibu yang mendapatkan menantu dambaan dalam hidupnya. Itulah di antara jenis kebahagiaan dunia yang Allah Ta’ala karuniakan kepada hamba-hamba-Nya.

Sayangnya, untuk mendapatkannya tidaklah mudah. Diperlukan ilmu untuk mengenalinya, juga usaha yang tak ringan untuk benar-benar mendapatkannya. Pasalnya, jumlah mereka semakin sedikit dan langka. Tapi percayalah, mereka masih ada di dunia ini.

Suami idaman tidak selalu gagah secara fisik. Badannya mungkin saja kurus dan pendek, tapi yakinlah bahwa jiwanya cerah dan penuh semangat. Jiwanya suci sebab terhubung dengan Sang Pencipta. Alhasil, suami idaman adalah sosok yang mudah mendapatkan cahaya kebenaran dan bersungguh-sungguh untuk mengamalkannya dalam hidup sehari-hari.

Maka, ia adalah sosok yang bersegera mendatangi masjid saat adzan berkumandang. Ia melakukannya dengan hati riang dan harapan yang penuh akan ridha dan ampunan Allah Ta’ala. Terkadang bahkan sering kali, ia justru menunggu waktu shalat sembari beri’tikaf.

Ia menanti waktu perjumpaan dengan Rabbnya sembari membasahi bibir dengan dzikir melalui tasbih, tahmid, takbir, dan tahlil; atau membaca al-Qur’an dengan tartil disertai tadabbur sepenuh hatinya. Dengan amalan itulah, wajahnya bercahaya, sorot matanya terang dan penuh cita-cita, kata dan kalimatnya lembut, serta perangainya amat memesona.

Alhasil, ketika ia datang melamar, hampir tak didapati alasan bagi seorang wanita atau walinya untuk menolak, sebab padanya terdapat kebaikan yang banyak bersebab keshalehannya. Jika pun ditolak, percayalah bahwa ia akan mendapat ganti yang lebih baik tak lama setelah itu.

Selanjutnya, suami idaman adalah sosok yang sibuk menyempurnakan amalan wajibnya, tak lalai dan amat perhatian terhadap amal sunnah, mencukupkan diri dengan yang mubah, dan amat menghindari hal-hal yang makruh secara berlebihan sebab bisa menjerumuskannya ke dalam perbuatan haram.

Karenanya, amat jarang kita dapati sosok ini dalam kesia-siaan. Bahkan, ia adalah sosok yang senantiasa menyibukkan diri dengan amal shaleh; di mana pun, kapan pun, dalam keadaan bagaimana pun.

Sehingga, tatkala laki-laki seusianya tengah lelap dalam tidur lalai, ia sudah bangun, berdiri, rukuk, dan sujud kepada Allah Ta’ala; ketika selainnya baru bangun, ia sudah tunai dirikan Subuh berjamaah di masjid, berlanjut dengan dzikir pagi kepada Tuhan semesta alam; saat yang lain baru memulai hari sebab tidur lagi selepas Subuh, ia sudah mulai kerjakan aktivitas kebaikan dengan ragam proyek kebaikan yang telah diagendakannya.

Demikianlah seterusnya. Ia tak pernah sepi dari amal. Bahkan, ia senantiasa merasa kekurangan waktu sebab kewajiban yang harus dia lakukan jauh lebih banyak dari waktu dan usia yang tersedia baginya. [Pirman]