Iwan untuk sekian kalinya berkeluh soal akhwat yang gagal memenuhi kriterianya. Berkali-kali sang ustad sigap membantu yang, sayangnya, berujung pada penolakan. Iwan, seorang internet marketer, sering merasa tidak puas. Dari menggali ceritanya, saya mendapat satu simpulan: ada sosok yang menghunjam di batin Iwan. Sosok inilah yang menjadi pembanding akhwat yang ditawarkan kepadanya. Semua serasa tidak sesempurna Wisesa (nama samaran), akhwat yang didambanya tapi menolak pinangannya.
Kisah bersama Wisesa sering diingat Iwan sampai akhirnya Wisesa menikah dengan teman baik Iwan. Dari sini kisah pedih derita cinta tak berbalas Iwan pun berakhir. Episode pencarian pendampingnya beranjak ke akhwat lain. Tentu saja tidak 1-2 sosok. Sampai kemudian bertemu dengan sosok yang memesona pandangannya. Kebetulan si akhwat berasal dari daerah yang sama dengannya, di salah satu kota besar di Borneo.
Perjuangan Iwan untuk menggapai pelaminan bersama akhwat nan rupawan ini, sebut saja Kirana, tidak mudah. Si akhwat belum siap, begitu dalam salah satu komunikasi mereka lewat ponsel. Memang, tidak ada jawaban tegas bahwa ia menolak Iwan. Atas jawaban ini, guru mengaji Iwan pun memintanya melupakan Kirana. Proses mendapatkan Kirana cukup sampai di situ. Cerita romantis yang diangankan Iwan harus segera dihentikan bila tidak ingin ada mudarat lebih besar.
Lantaran Iwan tipe pemimpi, derita yang hinggap akibat jawaban mengambang justru membuainya untuk terus larut. Apalagi Kirana masih berkomunikasi yang justru membuat Iwan menemukan celah. Ada pintu yang seakan masih terbuka. Terlebih saat Kirana mengutarakan kalimat, “Hanya Allah yang bisa membolak-balikkan hati…” Sebuah ungkapan yang samar tapi memberikan kesempatan bagi Iwan untuk merangkai asa.
Sayangnya, Iwan—dan banyak ikhwan pengagum diri nan ‘hebat‘—gagal menampilkan kapasitas sejatinya. Berjuang serasa cukup dengan berangan. Hanya berpuas dengan adanya celah emas, tapi tidak ada jibaku untuk mengejar angan. Ya, tidak sedikit ikhwan atau lelaki yang hanya memuaskan diri dengan ‘kembalinya’ akhwat atau perempuan yang pernah ‘menepisnya’ samar. Ungkapan semodel Kirana di atas seolah isyarat dibukakannya kesempatan baru atau kedua kali atau kesekian kali bagi Iwan.
Padahal, tiada yang salah dengan mengejar mimpi bersama akhwat atau perempuan idaman. Sampai semua yang samar menjadi jelas. Sampai ungkapan mengawang-awang tuntas dalam jawaban. Tidak ada bahasa berganda yang hanya melahirkan ‘penyakit’ di hati para ikhwan, lebih-lebih yang berpotensi penderita cinta tak berbalas indah.
Para akhwat atau perempuan seyogianya juga tidak ragu menghadirkan kejelasan. Mungkin ada ikhwan atau lelaki yang mudah paham dengan bahasa implisit. Mudah paham dengan sekadar kode atau bahasa pemalingan. Tapi, apakah semua ikhwan yang tengah dimabuk kepayang harapan mau dan mampu berpikir jernih dan rasional?
Acap saya dapati dari banyak cerita, “afwan, mau lanjut S-2 dulu”, “akhi, afwan ya, keuangan keluarga ane tengah kesusahan”, “maaf, hendak menunggu kakak menikah dulu” sebatas diplomasi dari jawaban sebenarnya. Yakni kalimat lugas: aku tidak bisa menjadi pasanganmu di pelaminan!
Ketegasan dan kesamaran akhwat perlu dilihat dari siapa yang dihadapinya. Di lain pihak, ikhwan perlu menomorduakan perasaan di belakang rasio beningnya atas kata-kata dia yang diidamkan. Lelaki sejati itu bukan yang terus merangkai angan hanya karena ada celah jawaban. Lelaki sejati justru dia yang berani mengejar cintanya hingga kata-kata samar dan berlipat menjadi terang benderang. Lalu berikutnya siap berlapang dan tersenyum atas penolakan yang ada.
Maka, saat dia yang kaudamba selalu bermain dalam samar, kejarlah hingga tiada lagi syubhat di jawaban. Tapi, ketika dia terus-menerus menyuka kesamaran dan engkau pun sudah berupaya gigih menjernihkan, tinggalkan dia. Hanya akhwat yang berwibawa yang paham arti menjaga perasaan ikhwan; bukan yang menikmati lawan jenis terus mengejarnya dan mengobsesikannya sebagai sebuah prestasi! []