Menikah adalah ibadah. Karenanya, dibutuhkan ilmu sejak sebelum, ketika, dan setelah menjalaninya. Ilmu-ilmu terkait pernikahan ini amat kompleks, terdiri dari banyak bidang. Di antara yang paling penting adalah ilmu komunikasi yang tak bisa dirumuskan dengan pasti oleh seorang pasangan, lalu dengan amat mudah dipraktikkan secara persis oleh pasangan lainnya.
Pasalnya, masing-masing individu itu unik. Memiliki karakter dan kecenderungan masing-masing. Alhasil, ilmu untuk menanganinya pun tak serupa. Kesamaan hanya ada pada kaidah dasar yang perlu dimodifikasi dan terus menerus diupgrade seiring berjalannya waktu bersama pasangan hidup Anda.
Komunikasi dalam rumah tangga ini bisa dibilang komplikasi; gampang-gampang susah, susah-susah gampang. Maknanya, tidak benar-benar sukar jika Anda mau mempelajarinya dengan sabar, dan tidak pula benar-benar gampang selama Anda tidak serius untuk mengupayakannya. Dibutuhkan perjuangan sungguh-sungguh dalam hal ini.
Di antara babnya, ada kalimat-kalimat yang harus terus diulang dengan tulus untuk semakin menyuburkan tanaman cinta antara Anda dan pasangan. Misalnya, ‘terima kasih’ dengan tulus di setiap kondisi kebaikan yang dilakukan istri, ‘maaf’ yang tak putus jika diri ini lakukan kesalahan-sengaja atau tidak, besar atau kecil-, dan ‘aku cinta padamu’ sesering mungkin, sesibuk apa pun.
Tiga kalimat inilah, sekali lagi, jika disampaikan dengan sungguh-sungguh, ianya akan menjadi bahan bakar yang membuat cinta senantiasa hangat, bahkan menyala dengan kobaran kasih yang sukar bahkan tak akan pernah padam hingga ajal menjelang.
Selain kalimat-kalimat yang harus seiring diulang, ada pula kalimat yang ‘haram’ disampaikan. Maknanya, jika suatu ketika Anda sengaja mengucapkan kalimat ini, lambat laun, bangunan cinta yang Anda bangun itu akan roboh, bercerai-berai, bubar tanpa bekas. Apalagi, jika kalimat ini disampaikan oleh seorang suami kepada istrinya.
Kelihatannya, kalimat ini terkesan remeh. Tapi, daya hancurnya amat nyata. Ia langsung menusuk ke relung hati terdalam istri Anda. Dalam bilangan tahun, jika Anda tidak meminta maaf dan memperbaikinya, dampak buruknya pun akan semakin Anda rasakan.
“Gak usah banyak cerita atau mengeluh. Curhat dan mengeluh saja kepada Allah Ta’ala.”
Itulah kalimat yang amat berbahaya jika disampaikan kepada istri Anda. Meski maksudnya baik, konteks kalimat amatlah rancu. Apalagi, wanita merupakan makhluk yang amat peka dengan ucapan dan pendengaran. Mereka lebih banyak berbicara dan lebih suka mendengar atau didengarkan.
Jika kalimat itu Anda ucapkan kepada istri, apalagi dengan nada ketus dan anti-pati, maka hitunglah masanya. Kelak, istri Anda itu benar-benar diam dan tak mau membagi cerita apa pun kepada Anda. Malangnya, ia tidak benar-benar berhenti berkisah atau mengeluh. Sebab, ianya menjadi satu di antara sekian sifat asasi. Alhasil, jangan heran jika istri yang Anda cintai itu akan mencari saluran lain untuk melampiaskan curhatan dan keluhannya.
Memang, Allah Ta’ala Maha Mendengar. Dia juga Mahatahu. Jika demikian, seharusnya perkataan “Curhat dan mengeluh saja pada Allah” tak perlu disampaikan. Bukannya Allah Ta’ala juga Mahatahu sehingga kita tak perlu menyampaikan atau curhat apa pun kepada-Nya?
Maka pahamilah, wahai para suami. Istri membutuhkan Anda bukan sekadar soal makan, pakaian, papan, kebutuhan biologis. Ia adalah bidadari yang perlu Anda dengarkan setiap keluhan dan cuitannya. Seremeh apa pun menurut Anda, sesibuk apa pun Anda sebagai seorang suami dan ayah.
Bukankah mendengarkan keluhan dan curhatan istri yang Anda cintai sambil ‘main-main’ itu menyenangkan? Maka perhatikanlah hal ini, wahai para suami yang berpikir. [Pirman/Keluargacinta]