Memiliki istri shalihah adalah impian semua laki-laki Muslim di dunia ini. Selain menjadi sebaik-baik perhiasan, istri shalihah adalah jaminan keselamatan bagi suami dan anak-anaknya kelak. Dengan pesona shalihahnya, seorang istri bisa menjadi motor bagi seluruh kebaikan di keluarga dan masyarakat.
Sayangnya, fakta seringkali tidak sejalan dengan keinginan. Kenyataan sering berkebalikan dengan apa yang diimpikan. Alih-alih memiliki istri shalihah, wanita yang menjadi pendamping hidup itu malah berkelakuan sebaliknya. Jika sudah begini, apa yang seharusnya kita kerjakan?
Lelaki paruh baya yang tidak diketahui namanya ini bertanya kepada lawan bicaranya di sebuah mushola kecil, “Umur berapa, Mas?”
“Dua puluh tujuh, Pak.” jawab sosok kurus bernada datar.
“Sudah menikah?” lanjut lelaki berbadan agak gemuk itu.
“Alhamdulillah, sudah.” si kurus kembali menyampaikan jawaban singkat.
“Bagaimana ujiannya?” kejar penanya bak wartawan sampaikan interogasi.
“Alhamdulillah.” tegas sosok berkaos merah itu. Tetap singkat.
“Jangan bilang berat ya?” kata si lelaki berkaos hitam itu mengingatkan. Lanjutnya agak mengagetkan, “Kalau istri saya, tidak shalihah.”
Merasa hanya diminta sebagai pendengar, lelaki asal Pemalang ini hanya diam sembari menunggu kelanjutan kisah dari laki-laki yang berasal dari Tegal ini. Benar saja, sosok yang rambutnya sudah memutih sebagiannya ini melanjutkan.
“Tapi, saya sabar. Saya banyak belajar dari kisah Nabi Nuh dan Nabi Luth ‘Alaihimas salam.”
Jika Anda mendapati nasib serupa dengan lelaki ini, lakukanlah apa yang dia amalkan; pelajari kehidupan Nabi Nuh dan Luth. Dua Nabi ini dikhianati oleh istrinya. Bukan pengkhiatan biasa, tetapi penelikungan iman. Istrinya durhaka dan melawan ajaran tauhid, hingga keduanya dibinasakan sebagai orang-orang yang merugi di dunia dan akhirat.
Selain itu, masih berdasarkan penuturan lelaki yang berwajah agak bulat ini di sebuah siang itu, “Tahu air tanah, kan? Setiap hari disedot oleh milayaran penduduk bumi. Apakah jumlahnya akan habis?”
Ketika yang ditanya hanya mengangguk pertanda sepakat, ia pun melanjutkan, “Seperti itulah seharusnya kesabaran. Jangan pernah habis. Terus menerus. Lakukan dengan ikhlas. Berharaplah pahala dari Allah Ta’ala.”
Analogi kedua ini benar adanya. Bahwa sabar harusnya seperti air tanah yang tidak pernah habis meskipun dimanfaatkan setiap hari oleh umat manusia, tumbuhan, dan hewan. Harus selalu ada, diperbarui, digunakan sebaik mungkin dengan penghematan, dan lain sebagainya. Hanya denggan itulah kesabaran akan tetap ada hingga ajal menjelang.
Semoga dengan dua kiat sederhana ini, Allah Ta’ala memberikan petunjuk kepada pasangan kita agar menjadi shalih atau shalihah sehingga kelak bisa berkumpul di surga-Nya yang penuh kenikmatan. Aamiin. [Pirman/Keluargacinta]
3 Comments
Comments are closed.