Tak perlu khawatir jika hingga detik ini jodoh belum hadir dalam kehidupan anda. Tak perlu risau jika sampai saat ini, jodoh belum mewarnai hidup anda yang makin sepi. Tak usah galau jika dia yang diidamkan, belum juga hadir dan bersanding di pelaminan yang dinanti. Sebab jodoh, sampai kapan pun adalah bagian dari rezeki.
Jodoh adalah rezeki. Rezeki adalah karunia. Allah Ta’ala memberikannya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan menahannya bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Dia Maha Mengetahui kebutuhan seluruh hamba-Nya. Maka jodoh akan diberikan tatkala seseorang membutuhkannya, dan itu baik bagi kehidupan sang hamba.
Jodoh ialah rezeki. Maka ia misteri. Ada rahasia agung di dalamnya yang mustahil diketahui detail oleh hamba-Nya yang bernama manusia. Karena misteri itu, jodoh tak bisa ditebak dengan siapa, kapan bersanding dengannya, bagaimana ceritanya, menjadi yang keberapa atau bagaimana kesudahannya.
Dalam tahap inilah seorang mukmin patut mengambil kesimpulan, bahwa kemisterian itu tidak terlalu penting, sebab itu bukan fokus utamanya.
Ketika kemisterian itu dipikirkan secara mendalam hingga dipaksakan, maka yang paling pasti adalah kerugian bagi diri pemaksanya. Sebab, manusia hingga kapan pun mustahil menentang Kuasa-Nya.
Siapa Jodoh Kita?
Yang paling pasti, dia adalah sosok terbaik menurut takdir Allah Ta’ala. Dia tidak mungkin menzhalimi hamba-hamba-Nya. Dalam tahap ini, kebiasaan menge-tag sosok yang belum pasti nampaknya perlu dikoreksi.
Okelah jika hal itu dimaknai sebagai motivasi sebab sosoknya memesona agama dan akhlaknya. Namun yang pantas disiapkan juga adalah kemungkinan jika ia belum atau tidak berjodoh. Jawaban atas tanya siapa ini, lebih layak dialihkan dalam amal: Seberapa sungguh-sungguh diri ini untuk memperbaiki diri agar layak bersanding dengan ia yang baik agama dan akhlaknya itu?
Kapan Bertemu Jodoh?
Tak ada jawaban “May be Yes, May be No”. Karena apa yang tertulis dalam lauhul mahfuzh yang terjaga rahasianya adalah pasti. Kapan menjadi penting ketika usia seseorang sudah masuk angka ‘genting’ dalam hitungan manusia. Genting bisa dinilai dari segi kesehatan, kemungkinan hidup karena mengidap penyakit, pertimbangan usia anak-anak yang terlahir, dan bisajadi: tuntutan orangtua.
Semua ini wajar saja. Sebab menikah yang bermakna bersanding dengan ia yang berjodoh dengan seseorang adalah terminal hidup selepas lahir dan sebelum mati.
Namun, ketika kaca mata yang dikenakan adalah Syariat-Nya, kapan tak menjadi masalah. Sebab lagi-lagi, Dia Maha Mengetahui mana yang terbaik untuk hamba-Nya. Maka yang terpenting adalah: mengupayakan sesegera mungkin sesuai dengan upaya terbaik.
Jika Bukan Yang Pertama?
Duh, barangkali ini yang paling pelik. Sebab obsesi bahwa jodoh harus yang pertama dan terakhir ini amat berlebihan jika dilihat dari sudut pandang takdir Allah Ta’ala. Tahap berikutnya, pelakunya bisa dimasukkan dalam pasal ‘memaksa’ Allah Ta’ala untuk ikuti maunya. Na’udzubillah.
Sejatinya, ketika diri memiliki sedikit ilmu saja tentang sirah Rasulullah Saw yang mulia, obsesi ini sudah terbantahkan. Meskipun, memiliki niat dan mengupayakannya tak pernah dianggap salah.
Dalam hal ini, jika anda adalah seorang wanita, coba tengoklah Ummu ‘Aisyah binti Abu Bakar. Sosok muda, shalihah dan berwawasan ini, hanya menikah sekali seumur hidupnya. Beliau dinikahi saat berumur sembilan atau dua belas tahun. Namun, lupakah kita bahwa beliau bukan istri pertama Rasulullah Saw?
Beliau dinikahi sebagai istri ketiga selepas wafatnya Ummu Khadijah dan Rasul menikahi Ummu Saudah. Tapi, lihatlah kehidupannya, beliau tetap memesona nan cemerlang di mata suami dan perjuangan menegakkan Islam. Beliau bukan istri pertama, namun berhasil mengukir kecemerlagan hidup dalam kemuliaan.
Kemudian, ketika anda adalah sosok laki-laki, apalagi yang mengaku dan merasa sebagai laki-laki sejati, lantas amat terobsesi terhadap anggapan harus menjadi suami pertama dan terakhir, cobalah melihat Rasulullah Saw nan mulia.
Beliau menikahi Ummu Khadijah sebelum menikahi wanita lain. Artinya, Ummu Khadijah adalah yang pertama bagi Baginda Nabi. Namun, Rasulullah bukanlah suami pertama jika dilihat dari urutan pernikahan sang istri. Sebab sebelumnya, Ummu Khadijah al-Kubra telah menikah dua kali.
Jadi, Baginda Nabi adalah suami ketiga Ummu Khadijah. Namun perilaku beliau sebagai seorang suami amat memesona dan senantiasa dikenang sejarah dengan catatan emasnya.
Karenanya, tak perlu berkecil hati. Cukup perbaiki niat, persiapkan diri sebaik-baiknya, upayakan jalannya segemilang mungkin, dan segerakan sembari bulatkan keyakinan bahwa Allah Ta’ala akan membantu siapa yang sungguh-sungguh.
Sebab jodoh idaman adalah ia yang siap menemani kita untuk semakin mencintai-Nya dan kelak bersama dengannya di surga-Nya. Semoga. [Pirman]
7 Comments
Comments are closed.