Lanjutan dari Kisah Sukses Perjaka 27 Tahun yang Menikahi Janda 3 Anak
“Jadi,” kata laki-laki yang sore itu menjadi imam shalat Ashar kami di masjid sekolah, “saya ini sama dengan Mas.”
“Saya menikah dengan janda beranak tiga.” Ujarnya penuh semangat. (Penulis menikah dengan janda 7 anak)
Saat itu, tahun 2006. Usia laki-laki ini baru dua puluh tujuh tahun. “Saya ditawari untuk menikah dengan beberapa wanita. Tapi,” hentinya mengundang penasaran, “namanya hati kan gak bisa dipaksa.”
Dari beberapa sosok yang ditawarkan kepadanya, tak ada yang sesuai dengan kata hatinya. Terkait wanita beranak tiga ini, sang laki-laki melihatnya sebagai sosok luar biasa yang harus diberi uluran tangan, namun dengan tetap menjaga nilai-nilai syar’i.
“Saat saya memutuskan untuk menikahinya,” kisahnya sembari melemparkan pemandangan lurus ke depan, “banyak komentar miring. Bahkan, ada yang mengatakan bahwa saya buta, tidak melihat, dan lain sebagainya.”
Akan tetapi, niat baik sudah tertancap di dalam hati. Disampaikanlah maksud baik itu kepada kedua orang tuanya. Orang tua yang memiliki latar belakang sebagai pedagang dan petani itu, ternyata setuju. “Alhamdulillah,” akunya saat ditanya terkait sikap orang tua, “orang tua mendukung.”
Setelah menikah, ujian yang berasal dari orang-orang luar tidak berhenti. Banyak gunjingan, hinaan, dan respons-respons tidak menyenangkan lainnya. “Bagi saya, yang terpenting adalah niat baik. Buat apa ngurusin komentar orang lain?”
Dasar niat baik yang mustahil menghasilkan keburukan, setelah menikah itu, dunia seperti dihamparkan untuk laki-laki ini dan keluarganya. Bisa membiayai istrinya untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, membiayai sekolah ketiga anaknya, dikarunia satu anak dari pernikahannya dengan wanita yang disayangi, hingga kejadian-kejadian lain yang tak masuk akal.
Ia diangkat menjadi pegawai negeri sipil. Saat bahagia masih mendesak-desak di relung jiwanya, ada panggilan serupa untuk sang istri. “Padahal,” ujar sebuah sumber yang bisa dipercaya, “saat itu, wanita itu belum lulus kuliah. Dia juga tidak mengirimkan aplikasi untuk mengikuti selekdi ter penerimaan pegawai negeri sipil.”
Qadarullah, ia dinyatakan lulus sebagai pegawai negeri sipil tepat setelah lulus kuliah.
“Kini,” ujar si laki-laki, “orang-orang melihat saya sebagai orang yang berhasil. Padahal, bagi saya biasa saja. Layaknya manusia umumnya.”
Demikian itulah keberhasilan yang menenangkan. Ianya melahirkan kerendah-hatian, bukan kesombongan yang berakibat keburukan.
Kisah ini nyata, adakah perjaka-perjaka lain yang berniat menikahi janda yang telah beranak? 😀
Wallahu a’lam. [Pirman/Keluargacinta]
7 Comments
Comments are closed.