Setelah jamaah Maghrib beranjak menuju rumahnya masing-masing, ada beberapa gelintir yang menyengaja menetap menunggu datangnya waktu Isya’. Di antara mereka ada yang memilih membaca dan menadabburi al-Qur’an, sedangkan yang lain terlihat menggerak-gerakkan bibir dan tasbihnya dalam dzikir.
Tak lama kemudian, hujan mengguyur di sekitar wilayah masjid. Deras. Dingin. Ada angin yang bercampur dengan cahaya kilat. Paduan yang padu; alam bertasbih memuji keagungan asma’ Allah Ta’ala, pun manusia yang khusyuk di masjid itu, dan di berbagai tempat di sudut bumi lainnya.
Sebab hujan pula, terlihat dua sosok anak manusia yang sengaja menepi. Keduanya mengendarai satu motor; berboncengan. Yang dibonceng nampak tergopoh, segera mencari tempat di serambi masjid untuk berteduh, sedangkan yang satunya mencari lokasi untuk memarkir kendaraan roda duanya.
Tak butuh waktu yang lama, keduanya pun sempurna menemukan tempat yang asyik dan nyaman untuk berteduh. Sesekali, keduanya bersitatap sembari berbincang. Akrab. Entah; saudara kandung atau hanya teman akrab. Terlihat pula, keduanya sesekali memainkan ponsel masing-masing.
Waktu berlalu, hujan perlahan reda. Sejuk udara, menguarlah wangi tanah. Malam yang sempurna. Insan-insan yang larut dalam munajat panjang di masjid pun, rasakan kesejukan ruhani, ketenangan jiwa, kebeningan pikir, dan kebugaran yang terasa dalam raga mereka.
Persis ketika muadzin membunyikan pengeras suara untuk kumandangkan panggilan shalat Isya’, entah direncanakan atau tidak, kedua orang yang terlihat meneduh tadi pun segera beranjak. Pergi. Entah buru-buru, mengejar janji, atau alasan lain. Yang jelas, mereka memacu gas tepat ketika muadzin ucapkan “Allahu Akbar Allahu Akbar”.
***
Sahabat, itulah orang yang lari dari rezeki. Tentu, kita berbaik sangka kepada keduanya. Namun, adakah panggilan yang lebih penting dari panggilan Allah Ta’ala? Bahkan, sedetik setelah panggilan itu berkumandang, keduanya masih ada di masjid.
Bukankah lebih mudah dan cepat jika keduanya beranjak menuju tempat wudhu, kemudian mendirikan Isya’ berjamaah? Bukankah ketika itu dilakukan, bagi mereka pahala dua puluh lima atau dua puluh tujuh derajat di banding jika shalat sendiri?
Namun, kita perlu berbaik sangka; semoga keduanya menuju masjid lain yang lokasinya tak jauh dari masjid itu. Dan itu dilakukan sebagai wujud semangatnya mencari pahalanya. Jika pun ternyata ia hanya beranjak memenuhi panggilan makhluk, semoga Allah Ta’ala ampuni dosanya dan berikan hidayah kepadanya juga kepada kita semua.
Dan, jika mereka pergi tepat ketika adzan yang bersamaan dengan redanya hujan hanya untuk mendatangi hal yang tak penting apalagi maksiat; maka sejatinya ia telah berlari dari rezeki. Semoga Allah Ta’ala melindungi kita dari buruknya sifat demikian, Aamiin. [Pirman]
1 Comment
Comments are closed.