Rumah Tangga

Logika Salah Seputar Poligami

Sebelum Muhammad bin ‘Abdullah dinobatkan sebagai Nabi, poligami sudah menjadi salah satu kebiasaan orang-orang Arab. Bahkan, di antara mereka ada yang memiliki delapan hingga sepuluh istri.

Maka Islam menempatkan poligami secara adil dengan membatasi jumlah istri bagi seorang muslim sebanyak empat orang. Setelah itu, mereka yang masuk Islam dan memiliki istri lebih dari empat langsung menceraikan istri-istrinya yang lain.

Jadi, Islam justru sangat manusiawi dalam menentukan hukum terkait poligami. Meskipun, ada banyak oknum yang melakukan sunnah ini serampangan, padahal tidak memiliki kemampuan atau kemauan untuk belajar. Mereka hanya ingin mengikuti nafsu, tanpa mau mempelajari hakikatnya.

Di antara mereka, banyak menggunakan dalih.

Banyak Istri Banyak Rezeki

Dalih ini diturunkan dari kebenaran kalimat “Banyak anak banyak rezeki”. Akibatnya, poligami hanya dipandang sebatas kemampuan finansial seorang suami. Jika ia kaya raya, maka sudah layak baginya untuk menikah. Kemudian, bagi suami yang miskin; silakan menambah istri, siapa tahu rezeki akan bertambah seiring bertambahnya jumlah istri.

Jelas sekali, ini logika yang salah. Kaya atau miskin tak ada urusannya dengan jumlah istri. Poligami juga tidak sekadar itu. Di dalamnya ada kesucian, tanggung jawab, pendidikan, dan juga sunnah yang mulia.

Kemampuan finansial hanyalah satu syarat dari sekian banyak ‘ketentuan’ hingga seseorang dibolehkan untuk mengambil amanah lebih. Pasalnya, di antara makna adil dalam poligami adalah memberikan kebutuhan materi sesuai kebutuhan, baik terkait pakaian, makanan, maupun tempat tinggal.

Selain itu, logika ini amat lemah hujjahnya jika dibalik; jangankan dua istri, satu istri saja tak sanggup mensejahterakan. Bukankah semakin banyak anggota keluarga, maka pengeluaran semakin banyak?

Jalan tengahnya; kembalikan poligami sebagaimana awal diperintahkannya. Posisikan poligami secara adil. Jangan dustakan poligami, jangan pula melakukannya serampangan tanpa ilmu. Apalagi hanya niat bergaya, supaya dianggap jantan, bisa gonta-ganti pendamping ketika menghadiri kondangan ataupun acara pesta, atau-innalillahi-, sebagai selingan.

Sungguh, setiap perbuatan akan dimintai pertanggungjawabannya. Setiap amal akan dimintai keterangannya. Karenanya; jangan sembarangan. Luruskan niat karena Allah Ta’ala dan semangat untuk meneladani sunnah Nabi-Nya.

Tapi… itu bukan hal yang mudah. [Pirman]