Dengan niat mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, wanita ini menerima lamaran laki-laki yang belum lama dia kenal. Meski memiliki profesi yang sama, keduanya berbeda dari segi jabatan. Sang wanita sudah diangkat resmi oleh pemerintah, sedangkan si laki-laki masih pengabdian. Atas nama negara.
Sang wanita, sejatinya tak pernah ambil pusing soal strata dan jabatan. Ia hanya berusaha mengamalkan nasihat orang tua dan agamanya. Manusia sama saja dalam penilaian Allah Ta’ala, yang membedakan hanyalah iman dan taqwa di dalam hati. Rahasia. Tiada yang mengetahui kecuali diri pelaku dan Allah Ta’ala.
Seiring berjalannya waktu, masalah mulai bermunculan. Bermula dari gosip yang berasal entah dari mana, sang istri mendengar bahwa suaminya melakukan upaya-upaya curang demi mengambil hatinya. Sang suami, kata mereka, menggunakan ilmu hitam dan segala hal yang tak logis demi menggamit hatinya.
Gosip itu seakan menemukan pembenaran ketika laki-laki dan perempuan ini memiliki beberapa perbedaan. Ialah tampang yang tak ubahnya langit dan bumi, jabatan dalam pekerjaan, strata sosial, hingga tempat tinggal antara perkotaan dan pedesaan.
Lengkaplah sudah derita sang istri saat sebagian keluarganya ikut berkomentar bahwa dirinya telah dijadikan mesin pencetak uang bagi sang suami. Pedih. Perih. Menyesakkan dada. Tapi, bukankah perahu yang sudah berlabuh pantang untuk kembali sebelum membuahkan hasil?
Bukankah setiap perjalanan yang ditempuh, sebaik apapun, sudah pasti ada godaan yang menyertai di sepanjang perjalanan?
Namun, amat berat bagi sang wanita saat dirinya tengah sendiri. Bayangan masa lalu hadir begitu saja. Sakit menyayat terasa di sekujur badan dan setiap nadinya. Tak terperih.
“Sejak menikah, suami tak pernah memberikan saya nafkah.” katanya.
Aduhai, bukankah ini merupakan sebentuk kezaliman yang nyata? Bukankah memberi nafkah adalah kewajiban suami, berapa pun kemampuan yang dia bisa?
“Bahkan,” ujar si wanita sembari terus menangis, “sakit pun saya biayai sendiri.”
Peliknya lagi, sang suami bukan sibuk berdakwah atau aktif dengan ragam kebaikan terkait kemanfaatan untuk sesama. “Masalahnya, suami hanya sibuk dengan dirinya sendiri dengan dalih mencari nafkah. Padahal, kalau ada rezeki pun habis untuk dirinya sendiri.” pilu sang wanita lanjutkan penuturannya.
Meski sepedih ini, wanita tetaplah sosok bidadari yang lembut hatinya. Saat sang istri membicarakan dan menuntut pemenuhan atas haknya lantaran sang suami tak melakukan kewajibannya sebagai imam yang baik, sang suami menjawab tegas, “Aku masih mencintaimu. Aku tak mau menceraikanmu.”
Wallahu a’lam. [Pirman/Keluargacinta]